Minggu, 17 Mei 2020

PARADOKS PENDERITAAN


Markus 4:39,41 (TB)  Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. ... Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?"

Lukas 22:42 (TB)  "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."

_______

Bagaikan satu mata uang logam dengan dua wajah, penderitaan dan eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan. Paradoks ini menyebabkan beragam asumsi muncul. Kaum teistik menawarkan solusi dari sudut pandang Allah. Ada yang menawarkan beberapa jalan agar terbebas dari penderitaan, ada pula yang mewajibkan bentuk-bentuk ritual sebagai jawabannya, dan ada pula yang menyajikan janji pengharapan eskatologis sebagai tawaran akhir yang melegakan. Sementara kalangan atheis dan agnostik dibuat pusing olehnya--sebagain di antara mereka memilih menerima dengan tegar, pasrah dengan keyakinan eksistensialnya, namun sebagian justru dengan brutal mencaci-maki Allah yang diyakini sebagai biang keroknya.
Dalam konteks yang lebih spesifik, respons yang beragam pun ditunjukkan oleh orang percaya. Sebagian ada yang menerima dengan lapang dada sebagai bentuk kehendak dan kedaulatan Allah, sebagian masa bodoh, sebagian lain justru dengan gagah berani menantang dan menghadapi pergumulan itu mengatasnamakan "iman". Namun ada yang berbeda dengan Kristus!

Hal esensial dalam iman Kristen yang secara eksplisit dinyatakan oleh Kristus adalah bahwa di dalam Kristus, penderitaan kini bukan hanya menjadi bagian manusia tetapi juga menjadi bagian Allah. Kristus adalah Allah yang menderita! (Ibr. 4:15). Hanya di dalam iman Kristen lah, Allah dapat benar-benar merasakan penderitaan manusia sehingga Ia begitu memahami bagaimana kondisi, pengharapan, dan kerinduan hati  umat manusia. Allah-allah lain, dan manapun yang didandani dengan argumentasi teologis paling cantik sekalipun namun tidak dapat merasakan penderitaan manusia adalah allah palsu! Bagaimana mungkin seseorang dapat memahami perasaan orang lain yang menderita sementara ia sendiri tidak tahu dan tidak pernah merasakan apa artinya menderita?
Paradoks penderitaan di dalam iman Kristen mengajar kemuliaan Kristus yang lebih gemilang bagi unat-Nya dibandingkan dengan pergumulan fisik kita yang sementara. Di dalam pergumulan Kristus, kita belajar tentang apa yang dinamakan sisi paradoksal penderitaan itu dan bagaimana menyikapinya.

Pada bacaan di atas terdapat dua peristiwa yang direspon secara berbeda oleh Kristus. Peristiwa pertama ketika perahu yang ditumpangi-Nya dan para murid hampir karam karena di hantam badai, Kristus menunjukkan kedaulatan kuasa-Nya atas alam. Pesan pertama yang ingin disampaikan-Nya pada kita adalah bahwa Ia merupakan Allah yang berototitas atas semesta termasuk terhadap pergumulan hidup yang berat, maka tetaplah percaya sepenuh hati pada-Nya, jangan takut! (Rm. 8:35-37).

Kedua, pesan paradoksal dalam pergumulan menuju Kalvari adalah bahwa Penderitaan di dalam iman merupakan jalan menuju kemuliaan Allah! Maka ketaatan merupakan kunci utamanya. Kristus dengan kuasa dan kedaulatan-Nya atas alam semesta, dapat saja dengan mudah memporak-porandakan pasukan Romawi, namun dalam penundukan diri, kasih, dan misi penyelamatan, Ia memilih untuk taat! Penderitaan di dalam Tuhan mengerjakan kemuliaan bagi orang percaya (1 Ptr. 4:13).

Penderitaan  adalah momentum paradoksal dimana Allah  memproses umat-Nya untuk belajar menempatkan iman dan ketaatan secara proporsional sesuai dengan kehendak dan kedaulatan-Nya. Namun penderitaan juga dapat menjadi momentum penting dimana Allah mengungkapkan kepalsuan iman palsu manusia, dan kepalsuan allah-allah palsu. SDG!

Kamis, 14 Februari 2019

FILSAFAT : HIPOTESIS HAWKING MENGENAI TEORI ASAL MULA SEMESTA

Hipotesis Asal Mula Semesta ala Stephen Hawking

Konflik wawasan dunia ini pasca momentum Aufklarung telah meninggalkan luka mendalam yang kerap kali muncul dengan nada satir. Hal tersebut yang juga tercermin dalam salah satu komentar Hawking ketika meghadiri konferensi kosmologi di Vatikan pada dekade 70-an:
“Saya tak ingin bernasib sama dengan Galileo, yang saya rasa mirip dengan saya, sebagian karena kebetulan saya lahir tepat 300 tahun sesudah kematiannya!” (Hawking: 2013, 114).

Nama Stephen Hawking, fisikawan teoritis dan kosmolog ulung asal Inggris ini melejit seiring dengan karyanya A Brief History Of Time yang bertengger pada jajaran buku terlaris Britania Raya selama 237 pekan. Melalui karya tersebut Hawking hendak memaparkan pandangan populernya tentang teori asal mula waktu, alam semesta dan keadaan akhir alam semesta.

Eksistensi kita sebagai manusia yang berada dalam ketakjuban luar biasa akan alam semesta, telah mendatangkan pertanyaan-pertanyaan abadi yang belum terpecahkan. Hawking berdiri di depan ketakjuban itu dengan satu langkah maju ketika ia menerobos batasan-batasan formal filsafat dan dogma agama untuk berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
Tulisan singkat ini disajikan secara ringkas (bahkan cenderung sederhana) untuk menelusuri konsep dasar tentang teori asal mula alam semesta yang dikemukakan Hawking berdasarkan  argumen-argumennya, dengan disertai beberapa catatan serta tinjauan  epistemologis sebagai lensa panduan dan koreksi filosofis.

Asal Mula Alam Semesta

Bumi berasal dari kondensi gas dan debu antar bintang 4,6 miliar tahun lalu. Dari bukti fosil kita mengetahui bahwa kehidupan muncul tak lama sesudahnya, mungkin sekitar 4,0 miliar tahun lalu di dalam kolam dan lautan bumi primitif.—Carl Sagan.
Seperti kajian Ilmuan naturalis pada umumnya, Hawking mengembangkan gagasan mekanika kuantum sebagai dalil yang disandingkan dengan teori relativitas umum Einstein serta dua teori besar sains populer—Bing Bang(Ledakan/dentuman besar) dan Evolusi—untuk mencoba memahami misteri asal mula alam semesta, perkembangan dan berakhirnya jagat raya.
Dalam A Brief History Of Timenya, Hawking menjelaskan bahwa permulaan alam semesta memulai eksistensinya pada saat terjadi ledakan/dentuman besar (Bing Bang). Ketika terjadi dentuman alam semesta dianggap berukuran nol, dan luar biasa panasnya. Selagi alam semesta mengembang, suhu radiasinya berkurang. Satu detik sesudah Ledakan Besar terjadi, suhu alam semesta beranjak turun menjadi sepuluh miliar derajat.

Pada keadaan ini alam semesta berisi sebagain besar foton, elektron, dan neutrino (zarah ringan bagi nuklir dan gravitasi) berikut antizarahnya (antielektron dan antinutrino). Zarah-zarah dan antizarah seperti elektron dan antielektron saling berintraksi dan membinasakan sehingga menghasilkan foton (elemen terkecil dari sinar). Kira-kira seratus detik kemudian, temperatur turun hingga satu miliar derajat.

Keadaan tersebut berdampak pada penyatuan proton dan neutron yang membentuk inti hidrogen berat (deuterium). Deuterium yang terus mengalami tambahan masa dari proton dan neutron yang pada akhirnya membentuk inti helium dimana terdapat juga beberapa unsur berat lainya seperti lithium dan berylliun.

Beberapa jam setelah ledakan besar terjadi, produksi helium dan unsur-unsur lainnya terhenti. Keadaan temperatur yang semakin menurun mempengaruhi gaya tarik-menarik elektromagnetik sehingga elektron-elektron dan inti-inti atom mulai menyatu dan menjadi atom.
Alam semesta secara keseluruhan terus mengembang dan mendingin, tapi di daerah-daerah yang sedikit lebih rapat daripada rata-rata, pengembangan menjadi lambat karena tarikan gravitasi lebih besar. Selagi daerah-daerah itu menyusut, tarikan gravitasi zat di luar daerah-daerah tersebut boleh jadi membuat daerah-daerah itu mulai berotasi. (Hawking, 2013;115).

Sementara dalam kondisi yang lebih luas pasca ledakan besar, terdapat dua tekanan gaya yang saling bersinggungan yaitu gravitasi (gaya tarik) dan sentrifugal (gaya dorong, ekspansi pacsa ledakan besar). Gaya gravitasi kemudian memperlambat proses ekspansi, memadatkan energi sehingga melahirkan keadaan galaksi seperti saat ini yang terpola pada satu titik sentral. Sementara sentrifugal masih dapat diamati dengan pergerakan galaksi-galaksi yang saling menjauh.

Dengan keahliannya, Hawking merinci materi, hingga pola-pola mendasar untuk merekonstruksi keadaan awal (titik singularitas) pasca ledakan besar. Asumsi tersebut menghantarkan Hawking pada kesimpulan bahwa, “sebagian besar gas di awan membentuk Matahari atau terpancar lagi, tetapi sejumlah kecil unsur lebih berat begabung membentuk benda-benda yang sekarang mengelilingi Matahari sebagai planet seperti Bumi” (Hawking, 2013, 118).
Gambaran alam semesta yang awalnya sangat panas dan mendingin selagi mengembang menurut Hawking sangat cocok dengan semua bukti pengamatan yang dimiliki saat ini.

Menelusuri Asumsi Awal Teori Ledakan Besar

Kokohnya teori Big Bang serta prinsip sentrifugal yang diadopsi Hawking dapat ditelusuri pada dua nama ilmuan besar dibaliknya, yaitu Fisikawan Rusia, Alexander Friedmann dan Astronom asal Amerika, Edwin Hubble. Friedmann mengajukan suatu hipotesis awal mengenai asal mula alam semesta dari titik nol ledakan besar, kemudian terus belanjut pada pengembangannya bagaikan sebuah balon yang ditiup.

Nama Frieadmann memang tidak terlalu dikenal, sampai hipotesisnya tersebut diperkuat oleh penemuan Hubble. Edwin Hubble yang dikemudian mengokohkan hipotesis Friedmann oleh hasil pengamatan analisanya menjumpai bahwa alam semesta tidak bersifat statis, namun mengembang dan saling menjauh satu sama lain (sebagaimana asumsi Friedmann).

Dari pengamatan Hubble tersebut dijumpai bahwa masing-masing galaksi saling menjauh satu dengan yang lainnya dengan jarak ekspansi  yang sama jika dilihat dari galaksi lain (seperti analogi balon). 

Kecenderungan pola alam semesta yang mengembang ini mengindikasikan suatu hipotesis Hawking yang kuat bahwa, “pada suatu waktu lampau jarak antara galaksi-galaksi mesti nol” (Hawking, 2013;47). Penemuan ini sekaigus mematahkan asumsi fisika klasik (yang dipegang oleh Newton maupun Einsten)  mengenai keadaan alam semesta yang cenderung statis.

Langkah Kontroversial Hawking

Kontinuitas antara mekanika kuantum, relativitas umum Einstien dengan Bing Bang sebagai teori yang komperhensif untuk menjelaskan misteri alam semesta, telah menjadi satu langkah maju yang sangat menggembirakan.  

Hanya saja masih tersisa satu masalah. Oleh karena implikasi dari teori Bing Bang melahirkan suatu keadaan asal mula alam semesta dan waktu dari titik nol, maka secara implisit masih terdapat ruang untuk hadirnya hipotesis teologis sebagaimana yang diyakini oleh kaum Kreasionis. 

Dengan segala resiko, Hawking kemudian maju selangkah dengan argumentasi yang lebih berani. Ia mengemukakan bahwa, “Alam semesta tidak akan memiliki awal atau akhir dan tidak mungkin diciptakan maupun dihancurkan. Hanya demikian adanya. Apakah masih ada tempat bagi pencipta kalau begitu?” (Hawking; 1988, 41). 

Langkah kontroversial ini sekaligus memperjelas posisi Hawking yang tegas serta berbeda dengan sejawatnya.

Hawking mengakhiri konklusi hipotesisnya dengan mereduksi setiap kemungkinan hipotesis Teistik dari setiap teori ilmiah yang ia bangun. 

Tidak sampai di situ, untuk menggapai impiannya Hawking bahkan mulai membangun hipotesis baru mengenai kemungkinan adanya “Teori segala sesuatu”, yang dengannya manusia dapat memahami mekanisme alam semesta dari awal hingga akhir berdasarkan kemungkinan hukum-hukum fisika yang ada.

Asal Mula Kehidupan

Kehidupan masih harus bermula dalam air … Bagaimana kehidupan bermula? Asal-usul kehidupan merupakan suatu peristiwa kimiawi, atau serangkaian peristiwa kimiawi, yang dengan kondisi-kondisi penting bagi seleksi alamiah muncul pertama kalinya—Richard Dawkins
Bahasan singkat pada bagian awal menegaskan posisi Hawking yang menerima konsep Evolusi Kosmos dari titik nol ledakan besar (Bing Bang), lantas bagaimana dengan asumsi Hawking mengenai asal mula kehidupan?

Seperti prinsip pertama Hawking yang menerima teori Bing Bang sebagai teori asal mula, ia juga menerima konsepsi teori Evolusi kimiawi untuk menjelaskan asal mula kehidupan primitif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari segi epistemologis yang bertolak dari prinsip pertama tersebut, hanya saja tidak dalam penjelasan yang lebih terperinci.
Hawking memulai panjabaran mengenai misteri kehidupan dengan dua kerangka batasan yang jelas. Menurut Hawking, “Bumi pada mulanya sangat panas dan tidak memiliki atmosfer. 

Seiring waktu, Bumi mendingin dan mendapat atmosfer dari gas yang dikeluarkan oleh bebatuan. Kita tidak dapat hidup dalam atmosfer awal. Atmosfer awal tak mengandung oksigen dan malah mengandung gas lain yang beracun bagi kita seperti hidrogen sulfida”.

Bagian pertama menjabarkan mengenai situasi pasca ledakan besar yang belum memiliki tanda-tanda kehidupan. Keadaan temperatur yang panas, ketiadaan atmosfer dan oksigen, tidak memungkinkan bagi perkembangan makhluk hidup. 

Di sini terdapat semacam gap yang berisi rentang suatu waktu yang “mengolah” materi pada kondisi awal menjadi layak huni bagi kehidupan primitif.
Memasuki paruh kedua pada kajian evolusi bologis, Hawking meminjam pandangan populer dari para pegiat evolusionis. Ia lanjutkan penjelasannya bahwa bentuk-bentuk kehidupan primitif tidak berasal dari darat tetapi dalam laut.

Hal ini mungin terjadi oleh karean perpaduan atom-atom dan membentuk makromolekul yang mampu menyusun atom-atom lain menjadi struktur yang serupa. Hipotesis ini secara singkat merangkan bahwa asal mula kehidupan dimulai oleh konsepsi perpaudan atom-atom di laut yang berlanjut pada makromolekul yang terus berreproduksi dan berevolusi seiring berjalannya waktu.
Jika kita bertanya bahwa apa yang menjadi makanan bagi bentuk-bentuk kehidupan awal tersebut, serta bagaimana kehidupan primitif di dalam air dapat berevolusi menuju kehidupan yang rumit di daratan?, maka Hawking akan menjawab:

“Bentuk-bentuk kehidupan pertama mengonsumsi berbagai bahan, termasuk hidrogen sulfida, dan melepaskan oksigen. Pelan-pelan pelepasan oksigen itu mengubah atmosfer seperti sekarang, dan memperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk kehidupan berderajat tinggi seperti ikan, reptil, mamalia, dan akhirnya umat manusia.” (Hawking, 2013;118).
Setelah mengkonsepsi teori Bing Bang, Hawking kemudian meminjam alur argumentasi kaum evolusionis untuk merujuk pada asal mula kehidupan. 

Penyajian tersebut memang terlihat sangat singkat, namun dapat dikatakan hipotesis ini merupakan kesimpulan akhir dari para pegiat Evolusi secara umum yang telah merangkum dua kategori besar dari teori Evolusi, baik Makro maupun Mikro, sebagaimana yang disajikan oleh Richard Dawkins, Biolog Evolusioner asal Britania.
Hawking memang tidak menjabarkan lebih jauh mengenai detail konsepsi evolusi makro dan mikro, selain hanya sebuah keterangan singkat dan konklusi. Hal ini tentu menjadi suatu tanda tanya bagi pembaca. 

Namun terlepas dari semua asumsi yang dapat kita ajukan, Hawking tentu dengan eksplisit menerima kajian evolusi sebagai teori asal mula kehidupan yang berkembang dari evolusi kimiawi, sel tunggal, hingga berlanjut pada kompleksitas makhluk hidup.

Singkatnya dasar pijakan Hawking atas dua teori besar sains modern di atas mengacu pada dua pondasi utama; pertama, teori Bing Bang(ledakan/dentuman besar) yang ditopang oleh analisa Hubble, dan kedua, teori asal mula kehidupan yang ditopang oleh penelitian H.J Muller dalam rekonstruksi radiasi dengan mutasi gennya.
Sejauh kajian sains populer yang berkembang, pengamatan-pengamatan dari para ahli ini masih menjadi dasar pijakan bagi sejawat dan generasi sesudah mereka hingga saat ini.

Mengintip Epistemologi Hawking

Seperti paragraf pembuka di atas, Hawking termasuk dalam jajaran Ilmuan ateis (atau mungkin juga seorang Deisme skeptis?) pasca “Pencerahan” yang bertolak dari dasar epistemologi sains modern—positivisme logis—dalam kemasan narasi kaum naturalis yang sangat khas. 
Penekanan ini perlu penulis kemukakan sebagai panduan untuk memahami alur pemikiran Hawking (dan juga para Ilmuan sekuler lainnya) ketika kita beranjak pada analisa teorinya tentang asal mula alam semesta.

Dasar pijakan presuposisi Hawking pada positivisme logisdengan sistem tertutup, serta sentimen profesi yang kaku sebagai seorang Ilmuan modern otonom, menjadi kosekuensi logis di mana Hawking harus melepaskan semua unsur “agama” dan “filsafat” pada setiap teori yang dibangun. 
Itu sebabnya Hawking dalam teorinya tentang asal mula alam semesta pada akhirnya bertumpu pada dua teori besar yang populer, Bing Bang dan Evolusi.

Prinsip kemadirian sains modern pada akhirnya melahirkan sebuah kecenderungan bagi semua Ilmuan modern yang ingin dikenal sebagai seorang Saintis “murni”, untuk menggunakan suatu pola mendasar yang sama; “Menyusun kura-kura di atas susunan kura-kura yang ‘sejenis’” (pada bagian kesimpulan A Brief History Of Time, hal. 177.

Hawking menolak konsepsi ini, namun tanpa disadari ia menggunakannya ketika ia meminjam teori Big Bang dan Evolusi sebagai pijakan bagi hipotesisnya).
Masing-masing teori sains yang dibangun harus bertumpu pada teori-teori sains lainnya yang sejenis (dalam konsepsi epistemologis) untuk membentuk suatu hipotesis “ilmiah” (baca: terlepas dari intervensi unsur adikodrati), meskipun pada titik tertentu teori-teori tersebut saling tumpang tindih dan kontradiksi satu dengan yang lain. 

Hak tersebut sudah menjadi semacam aturan tak tertulis  oleh karena prinsip sains modern memiliki satu pola pendekatan epistemologi yang serupa (positivisme logis) dan otonom (berbasis pada rasionalisme dan empirisisme), sekaligus kontra terhadap epistemologi religius yang berseberangan.

Konsep epistemologi Hawking yang bertumpu pada positivisme logis, telah memberikan kontribusi signifikan dalam setiap kajian teoritis, hipotesis, asumsi, argumentasi, serta konklusi pada setiap teori yang ia kemukakan. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan jika pada akhirnya hipotesis-hipotesis Hawking akan selalu berujung pada kecenderungan ateisme.
Meski demikian Hawking cukup memiliki jiwa yang besar dan terbuka terhadap kritik. Setidaknya hal ini diakui pada bagian awal karyanya, “Semua teori fisika selalu bersifat sementara, dalam arti bahwa teori itu hanya berupa hipotesis: tak bisa dibuktikan benar” (Hawking, 2013;10).
Terlepas dari setiap kritik yang digemakan oleh para Ilmuan yang berseberangan, Filsuf dan juga Teolog terhadap hipotesis-hipotesis Saintis yang nyentrik seperti Hawking cs, harus diapresiasi bahwa kajian-kajian sains modern (secara umum) yang begitu maju telah memberikan dampak yang signifikan bagi peradaban umat manusia saat ini, dengan tetap menggaris bawahi beberapa catatan penting mengenai sisi etis kemanusiaan.

Jumat, 28 September 2018

TUHAN BERANAK SIAPA BIDANNYA?

Menggugat: “Tuhan Beranak, Siapa Bidannya?”

-oleh : yb-



          Pertanyaan yang menjadi judul di atas, merupakan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tokoh agama sebagai bentuk kritik terhadap konsep “Anak Allah” yang disandang Kristus. Sama seperti ketidakpahaman kaum bidat, pertanyaan tersebut mungkin mewakili sebagian besar pandangan kalangan agamawan “rasionalis” abat ini, yang entah dengan sengaja maupun tidak merupakan suatu bentuk serangan  terhadap Iman Kristen. Namun sayangnya, pertanyaan retoris tersebut justru mengkonfirmasikan kedangkalan pemahaman mereka terhadap Iman Kristen, khususnya konsep Kristologi. 

Benarkah Allah (Kristen) beranak?

          Pernyataan “Allah beranak” merupakan suatu bentuk pernyataan yang bertolak dari dua hal, pertama kegagalan teologis (khususnya gramatikal) dalam konsep teologis, dan kedua pendekatan rasionalitas yang salah tempat.

1. Kekagalan Teologis.
          Kegagalan untuk memahami konsep teologi suatu keyakinan merupakan faktor terbesar dalam kegagalan studi perbandingan agama. Hal ini menyebabkan kebanyakan para teolog dan orang awam selalu menafsirkan suatu doktrin atau ajaran agama lain dengan menggunakan “kaca mata kuda” yang subjektif. Yang paling menyedihkan terkadang mereka menganggap dirinya lebih tahu dan paham akan ajaran agama lain, sehingga dengan mudahnya mengeluarkan argumen-argumen yang tendensius dan sesat. 
          Penggunaan istilah seperti “Anak”, “Bapa”, “Firman”, “Tritunggal”, dll, memang tidak sempurna karena pada prinsipnya tidak ada bahasa manusia yang dengan tepat dapat mendefinisikan natur kejamakan pribadi Allah (Allah = Elohim. Ibr. memiliki makna jamak) serta relasi-Nya dengan Sang Firman secara sempurna. Istilah-istilah tersebut hanya menggambarkan secara figuratif dalam pemaknaan teologis namun memiliki kecukupan dalam segi pewahyuan bagi manusia. 
          Adalah merupakan suatu kesesatan jika kekristenan mengajarkan bahwa “Allah beranak” dalam pengertian yang harfiah, sehingga Kristus adalah “Anak Allah”. Hal tersebut bukan hanya kesesatan, akan tetapi lebih dari pada itu merupakan kekurang-ajaran dan dosa yang besar terhadap Allah!. Gelar “Anak Allah” dalam konsep Iman Kristen merupakan suatu gelar yang umum bagi Umat Allah, dimana gelar tersebut menggambarkan relasi kekeluargaan yang intim dengan Allah (Kel. 4:22; Hos. 11:1; 2Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun Umat Tuhan hingga saat ini yang memahami gelar “Anak Allah” tersebut dalam pengertian harfiah bahwa ia adalah “anak biologis Allah”. 
          Bagaimana dengan Kristus? Berbeda dengan Umat Allah dalam Perjanjian Lama dan Orang beriman dalam Perjanjian Baru yang menyandang gelar “anak Allah”, Yesus Kristus sangat unik karena Ia disebut sebagai ANAK TUNGGAL ALLAH (Yoh. 1:18, 3:16, 3:18; 1Yoh. 4:9). Perhatikan bahwa bagi umat Allah, Alkitab menyebut mereka dengan sebutan “anak-anak Allah”, namun dengan penekanan yang berbeda kepada Yesus Kristus, Alkitab bersaksi bahwa Ia adalah “Anak Tunggal Allah”. Alkitab membedakan secara tegas antara gelar sebagai “anak Allah” kepada Kristus dan Umat Tuhan. Umat Tuhan adalah “anak-anak Allah” karena mereka percaya dan beriman kepada-Nya, akan tetapi Kristus berbeda, Kristus adalah satu-satunya Anak Allah yang memang memiliki hakikat Ilahi yang setara dengan Allah (Yoh. 1;1), karena Ia adalah Sang Logos (Firman Allah) yang berasal dari Allah sendiri (Yoh. 8:42; Yes. 55:11).
          Sederhananya, kita menjadi “anak Allah” karena Iman, namun Kristus tidak, karena Ia adalah Sang Firman yang adalah Allah sendiri. Analoginya demikian, ketika saya menuangkan ide pemikiran saya ke dalam catatan, maka “Ide” yang dahulunya “bersama-sama” dengan saya, kini telah tertuang “keluar” ke dalam suatu catatan (tentu saja analogi tersebut tidak sempurna). Demikian juga Kristus. Ia yang adalah Firman Allah, yang kini menjadi manusia.  Namun berbeda dengan suatu “ide” yang keluar kemudian menjadi catatan pada suatu benda mati, Kristus dalam natur Ilahi-Nya sama sekali tidak mengurangi kekuasaan dan kedaulatan-Nya ketika Inkarnasi, hanya saja Ia membatasi dalam ketaatan mutlak yang mengagumkan kepada Bapa (Fil. 2: 6-8). Ia adalah Allah sejati dan Manusia sejati. Ia memiliki sifat Allah, dan juga manusia secara bersamaan namun tidak berbaur. Sebagai Allah, Ia TIDAK DILAHIRKAN, Ia kekal, namun sebagai manusia, Ia masuk kedalam ruang dan waktu, 2000 tahun lalu (Ibr. 1:2). Hal ini merupakan suatu paradoks dan suatu misteri Ilahi yang melampaui akal budi manusia yang memang dinyatakan oleh Allah sendiri melalui kebenaran Firman-Nya dalam Alkitab.
          Maka istilah “Anak Allah” tersebut merupakan pemaknaan teologis dan bukan dalam pengertian biologis. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemaknaan harfiah dan prinsip logis, seolah-olah karena terdapat premis “Anak Allah” maka konsekwensi logis dari hal tersebut mengakibatkan “Allah harus beranak”. Hal ini merupakan kesesatan dan kegagalan pemahaman teologis, karena Iman kristen tidak pernah mengajarkan hal demikian, bahkan menentang hal tersebut karena sesat!

2. Rasionalis Salah Tempat.
 
          Kalimat tanya tentang “Kalau Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” merupakan kritikan yang sarat akan pemaknaan rasional dan logis, namun salah tempat. Kekristenan yang ortodoks akan mentertawakan kebodohan dari pernyataan demikian, karena tentu saja hal tersebut jauh dari konsep Iman kristiani yang sesungguhnya. Analisa rasional dan logis tidak selalu menjadi landasan yang valid dalam mencari kebenaran dalam teks-teks kitab suci. Teks-teks Alkitab memiliki gendre dan gaya bahasa yang beragam, maka dalam beberapa gaya bahasa tertentu, hal tersebut tidak dapat terapkan dan diartikan secara harfiah. 
          Ketika saya mengatakan bahwa “Allah adalah gunung batu dan kota benteng”, maka secara harfiah, kalangan rasional-logis akan mencemooh pernyataan tersebut karena secara logis, hal tersebut keliru dan sesat pikir, namun kalangan sastrawan yang mengerti akan gendre sastra akan dengan mudah menangkap pesan dari pernyataan tersebut sebagai suatu gambaran figuratif mengenai kekuatan Allah yang dasyat dimana tentu saja hal tersebut tidaklah keliru. 
          Seperti contoh diatas, maka pernyataan “Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” yang ditujukan bagi konsep Allah dan kristologi dalam teologi Kristen, merupakan pernyataan yang gagal paham secara rasional (karena tentu saja Allah tidak beranak), gagal paham secara gramatikal (karena gagal memahami gendre sastra Alkitab), dan gagal paham secara teologis dalam konsep teologi Kristen (karena memahami Kristus secara salah dimana Ia dipahami sebagai “Anak Allah” dalam pengertian harfiah dan natural, seolah-olah Allah menikah dengan Ibu Maria dan menghasilkan Kristus sebagai keturunan biologis-Nya). Adalah lebih bijak jika kita memahami suatu isu teologis dengan baik dan benar dalam berbagai perspektif sebelum mengkritisinya, sehingga tidak menyebabkan kita terjebak dalam kesesatan konsep logika--strawman. Tuhan memberkati.

 Soli Deo Gloria!

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1).

YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN?

Pembelaan Terhadap Ke-Tuhan-an Yesus Kristus[1]

Oleh : yb
  --
Pendahuluan.
          Pokok pengajaran Kristologi Tinggi mengenai klaim ke-Tuhanan Kristus, merupakan prinsip utama kekristenan yang sangat penting, mengingat jatuh bangunnya pondasi iman Kristen bergantung sepenuhnya pada Pribadi Kristus.  Stott mengatakan bahwa satu-satunya agama di dunia ini yang berpusat pada seorang Pribadi, adalah kekristenan. Andai kata keyakikan akan ke-Tuhanan-Nya ditolak, maka kekristenan sudah pasti akan lenyap.[2] Berikut penulis menjabarkan beberapa bukti Alkitab yang mengkonfirmasikan natur ke-Tuhan-an Kristus baik secara eksplisit maupun implisit melalui ucapan dan tindakan-Nya, yang mana sekaligus merupakan pondasi dasar iman Kristen mengenai Kristologi tinggi.
Otoritas Pernyataan Kristus Yang Sama Dengan Allah.
          Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus memiliki keunikan dan berbeda dengan para nabi dalam Perjanjian Lama. Mereka yang hanya menganggap Ia sebagai seorang nabi, akan sangat tercengang ketika berhadapan dengan klaim-klaim yang Ia ucapkan. Berikut beberapa pernyataan yang patut dipertimbangkan: Yesus berdoa agar Bapa mempermuliakan diri-Nya dengan kemuliaan milik-Nya (Yoh.17:5), akan tetapi PL hanya mengakui ada satu Tuhan (Ul.6:4; Yes.45:5), dan Tuhan tidak akan membagikan kemuliaan-Nya kepada siapapun (Yes.42:8). Yesus memproklamirkan diri-Nya sebagai “Yang awal dan yang akhir” (Why.1:7), suatu pernyataan yang sama dengan Tuhan dalam PL dalam memperkenalkan diri-Nya (Yes.44:6). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “Gembala yang baik” (Yoh.10) yang juga merujuk pada pekerjaan yang sama ketika Tuhan membimbing umat Israel dalam PL (Mzm. 23:1; Yeh.34:12). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai hakim segala bangsa (Mat. 25:31; Yoh. 5:27) yang sejajar dengan PL, dimana Tuhan akan menghakimi segala bangsa (Yl. 3:12).Yesus menyatakan diri-Nya sebagai terang dunia (Yoh.8:12), yang sejajar dengan perkataan Tuhan dalam Yesaya 60:19, dan juga pengakuan Daud bahwa “TUHAN adalah terangku” (Mzm.27:1). Yesus mengklaim diri-Nya sebagai sumber dan otoritas pemberi hidup  seperti Bapa (Yoh.1:4; 5:21). Tetapi PL jelas mengatakan bahwa hanya Allah saja yang menghidupkan orang mati (Yes. 16:19;  Dan. 12:2;  Ayb. 19:25). Di sini Yesus tidak sedang berbicara mengenai karunia kesembuhan seperti para Nabi dan Rasul, tetapi kuasa dan otoritas. Karunia adalah pemberian, tetapi kuasa dan otoritas adalah milik Allah. Yesus mengklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar (Yoh.14:6). Hal ini hanya dimungkinkan jika Yesus adalah Allah yang menyatakan kepada manusia.[3] Yesus mengklaim diri-Nya “Bukan berasal dari dunia” tetapi semua manusia dari dunia (Yoh.8: 23), Ia telah ada sebelum Abraham jadi (Yoh.8:58).
Perumpamaan Yang Merujuk Pada Klaim ke-Ilahian-Nya.
          Selain itu, terdapat  beberapa hal menarik yang perlu diteliti berkaitan dengan beberapa perumpamaan dalam pengajaran yang Yesus lakukan. Jika diperhatikan maka akan dijumpai bahwa Ia bukan hanya menyampaikan suatu pesan dan pengajaran kepada para pendengar-Nya, namun Ia juga menyampaikan pesan implisit mengenai klaim ke-Tuhanan-Nya. Dalam Injil dalam Lukas 15: 32 misalnya. Pada pasal ini, Tuhan Yesus memberikan tiga perumpamaan yaitu “Domba yang hilang”, “Dirham yang hilang” dan “Anak yang hilang”.  Pesan implisit dari ketiga perumpamaan ini adalah Ia menempatkan diri-Nya sebagai seorang Gembala, seorang pemilik Dirham, dan seorang Ayah, yang mencari milki-Nya yaitu, Anak, domba, dan Dirham. Ia tidak menempatkan diri dalam posisi sebagai “domba” tetapi sebagai “Gembala”  seperti halnya Allah dalam PL (Luk.19:10; Yoh.10:11; Yeh. 34:11; Mzm. 103:8-13).Beberapa kesempatan, Yesus mengumpamakan dan menempatkan diri-Nya sebagai “Mempelai Pria” seperti dalam Injil Markus 2:19; Matius 9:15; 25:1; Lukas 5:34, dan juga pada perumpamaan tentang “Gadis bijaksana dan bodoh” (Mat.25:1-13). Hal ini sejalan dengan kesaksian PL ketika Allah mengidentifikasikan diri-Nya sebagai “Mempelai Pria” Israel (Yes. 62:5; Hos. 2;16).
Mengutip Philip Payne, Geisler menjelaskan bahwa dari lima puluh dua narasi berbentuk perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus, dua puluh diantaranya menggambarkan secara implisit mengenai kesejajaran-kesejajaran pribadi Yesus dengan Allah dalam PL.[4] Pernyataan-pernyataan demikian tidak akan keluar dari mulut seorang Guru, bahakan seorang Nabi sekalipun. Semua Tokoh agamawan dan para pendiri agama akan selalu mengajar dan merujuk pada suatu jalan yang benar, tetapi mereka tidak pernah mengkalim dirinya benar dan bebas dosa, kecuali Yesus (Yoh. 8:46; 14:6).
Beberapa Bukti Lainnya.
          Bukan hanya melalui pernyataan lisan, namun juga dari sikap ekplisitnya mengenai penyembahan. Di beberapa kesempatan, Yesus  menerima penyembahan yang sejajar dengan Allah. Dalam konteks Perjanjian Lama, terutama dalam Hukum Taurat, penyembahan hanya boleh dilakukan kepada Allah Israel, diluar itu marupakan suatu pelanggaran berat (Kel. 20:1-5; Ul. 5:7-9). Namun dalam Perjanjian Baru, para murid yang memiliki latar belakang penganut monoteis fanatik, mereka juga menyembah kepada Yesus, layaknya kepada Allah. Penyembahan yang mereka lakukan tentu bukan hanya suatu sikap tanpa makna, akan tetapi tindakan tersebut menyatakan sikap hati, keyakinan, dan pengharapan mereka kepada Yesus. Hal tersebut dikonfirmasi melalui peristiwa-peristiwa ajaib yang Ia lakukan. Didalam PB,tercatat paling sedikit sepuluh kali Tuhan Yesus disembahan: Seorang sakit kusta menyembah Dia (Mat. 8:2), Sebelum anaknya dibangkitkan Yesus, seorang kepala rumah ibadat menyembah Dia (Mat. 9:18), Setelah badai diredakan, Murid-murid yang berada di dalam perahu menyembah Dia (Mat. 14:33), Sebelum anaknya yang kerasukan setan disembuhkan, seorang perempuan Kanaan menyembah Dia (Mat. 15:25), Sebelum seorang kerasukan setan disembuhkan, ia menyembah Yesus (Mrk. 5:6), Seorang buta yang telah disembuhkan menyembah Yesus (Yoh. 9:38), Anak-anak Zebedeus dan ibu mereka menyembah Yesus (Mat. 20:20), Setelah kebangkitan-Nya, murid-murid menyembah Dia (Mat. 28:9), Sebelum memberikan perintah untuk mengabarkan Injil, murid-murid menyembah Dia (Mat. 28:17), dan yang terakhir adalah ketika Tomas Menyembah Dia (Yoh.20:28). 
Dalam meresponi hal tersebut, Yesus tidak pernah menolak penyembahan yang ditujukan kepada-Nya. Sebaliknya, para Rasul (KPR. 14:14-15) dan Malaekat (Why. 19:10) menolak untuk menerima penyembahan dari manusia. Maka pertanyaan penting untuk diajukan adalah siapakah Yesus sehingga Ia layak menerima Pujian(Why.7:10, 15:3) dan Penyembahan?, tentu saja Ia adalah Allah (Yoh.1:1).
Tindakan-Nya Yang Hanya Dapat Dilakukan Oleh Allah.
Selain pernyataan, respon penyembahan, dan perumpamaan-perumpamaan Yesus yang menyatakan ke-Ilahian-Nya, Alkitab juga mencatat beberapa tindakan Yesus yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Ia mengampuni dosa (Mrk. 2:5-11). Tindakan ini menimbulkan respon dari para ahli Taurat dengan pertanyaan yang mengherankan, “Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” Tetapi perhatikan bahwa Ia tidak pernah memohon pengampunan dosa bagi diri-Nya, hal itu hanya dimungkinkan jika Ia memang Allah. Kemudian  para Rasul bersaksi dan menulis bahwa Ia tidak berdosa (1Ptr. 1:19; 1Ptr. 2:22; 1Yoh.3:5;  2Kor. 5:21; Ibr.4:15). Ia memiliki kuasa (Omnipotent) bukan hanya dibumi tetapi juga di sorga, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa disorga dan di bumi” (Mat. 28:18-19), Ia berkuasa atas alam semesta (Luk.8:24-25). Ia berkuasa atas  roh-roh jahat (Luk.8:26-39; Mat.8:28-34; Mrk.5:1-20).  Ia berkuasa atas bebagai penyakit dan kematian (Mat.4:24; Mat. 11:15; 15:30, dst).  Ia maha tahu (Omniscience). Yesus tahu mengenai pikiran Orang (Mat.12:25; 22:18; 26:10; Mrk. 2:8, dst), Ia mengetahui kehidupan wanita samaria (Yoh.4:16-19), Ia mengetahui pribadi Natanael (Yoh.1:47-50), Ia mengetahui bahwa Yudas akan menghianati-Nya (Yoh.6:64).Ia maha hadir (omnipresent). Ia hadir disegala tempat ketika orang percaya berkumpul (Mat.18:20), Ia hadir didalam hati orang percaya (Yoh. 14:20; 2Kor. 13:5), Ia telah berada di sorga, namun Ia juga menyertai semua orang percaya hingga akhir  zaman (Mat.28:20). Ia transenden sekaligus imanen.Ia kekal (Why.1:8), dan  Ia ada dengan sendiri-Nya (Yoh. 8:58).Ia tidak berubah (Ibr.13:8). Perkataan-Nya kekal (Mrk.13:31).Ia meminta Orang percaya (bahkan para Rasul yang memiliki latar belakang Yahudi—monoteis, dan beberapa diantaranya adalah saudara Tuhan!) agar berdoa dalam nama-Nya: “dan apapun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya ... Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya (Yoh. 14:13-14); Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal didalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh. 15:7).
Pertimbangan lainnya adalah Ia memusatkan inti dari pengajaran-Nya pada diri-Nya sendiri. Sedikitnya tujuh kali Ia berkata “Akulah!” (Ego Eimi) yang setara dengan Allah ketika memperkelalkan diri kepada Musa dalam Keluaran 3:14. “Akulah Roti Hidup” (Yoh. 6:35), “Akulah terang dunia” (Yoh. 8:12; 9:5),“Akulah Pintu” (Yoh. 10:9), “Akulah Gembala yang Baik” (Yoh. 10:11), “Akulah Kebangkitan dan Hidup” (Yoh. 11:25), “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup” (Yoh. 14:6 ), “Akulah Pokok Anggur yang Benar” (Yoh.15:1). Mengomentari hal tersebut, Stott menjelaskan bahwa hal yang pantas dicatat adalah Kristus berbicara tentang kerajaan Allah, namun secara mengejutkan Ia memusatkan ajaran-Nya pada diri-Nya.[5] Suatu sikap egosentris (dalam pemahaman yang absolut sebagai Allah) yang bahkan para pendiri agama manapun tidak akan berani mengklaim demikian.  Hal ini hanya memungkinkan jika Kristus menyadari dengan sungguh mengenai siapa diri-Nya, karena jika tidak, Ia tentu telah melakukan dosa besar dengan menghujat Allah.
Penutup.
Seperti yang telah dijabarkan di atas sesuai dengan kesaksian Alkitab yang adalah Firman Allah itu sendiri bahwa ke-Ilahian Yesus Kristus merupakan penyataan Allah secara ekplisit, maka pengajaran mengenai Kristologi tinggi merupakan suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Kritikan-kritikan sumbang di luar kekristenan memang akan selalu ada, namun kritikan-kritikan demikian jika dengan seksama diperhatikan, justru membuktikan ketidak pahaman dan kegagalan para pengkritik tersebut terhadap kesaksian Alkitab. 
Sebagai penutup, argumentasi Geisler ini dapat menjadi argumentasi rasional logis yang tak dapat dibantah. Geisler mengatakan bahwa, mau-tidak-mau, semua orang harus mengakui ke-Tuhanan-Nya, karena jika hanya memandang Dia sebagai Guru moral dan seorang Nabi, maka harus dikatakan juga bahwa seorang Guru moral dan Nabi yang benar tidak akan mengklaim dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Yesus Kristus! Fakta ini menjadikan para pengkritik tidak dapat berkutik karena tidak menyediakan pilihan lain (Guru moral atau Nabi) kepada Pribadi Kristus, selain mengakuin-nya sebagai Tuhan. Soli Deo Gloria!


            [1] Tulisan ini diedit seperlunya dari Skripsi Penulis, Yosep Belay, Apologetika Kristen Terhadap Konsep Deifikasi Kristus Menurut Ioanes Rakhmat (Depok: STT SKRIPTURA—skripsi, 2016), 75.
            [2]John RW. Sott Kedaulatan dan Karya Kristus,... 27.
[3]Harus diperhatikan bahwa realitas agama manusia adalah bersifat antroposentris. Manusia yang membangun dan menjalankan suatu sistem, dengan demikian maka tidak mungkin manusia dapat sampai kepada Allah melalui konsep-konsep yang dibangun, kecuali jika Allah sendiri yang menyatakan jalannya kepada manusia, dan hal tersebut hanya dijumpai dalam kekristenan melalui pribadi Tuhan Yesus.
[4]Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don’t Have Enough Faith to Be an Atheist... 386.
            [5] John RW. Stott, Why I am a Christian... 29.

PENGANTAR APOLOGETIKA KRISTEN

PENGANTAR APOLOGETIKA KRISTEN 

-oleh : yb-
 
 Definisi Apologetika Kristen.
Secara umum, istilah apologetika sering dikaitkan dengan pembelaan Socrates dalam merumuskan pandangan dan tindakannya.[1] Namun,   perkembangan tata bahasa dan penggunaan istilah apologetika secara luas menyebabkan istilah ini mengalami pergeseran makna. Pratt mengatakan  bahwa apologetika seringkali disalah mengerti. Istilah ini biasanya dipahami sebagai permintaan maaf saat kita bersalah kepada seorang teman atau kepada orang yang kita kasihi dan kita merasa perlu untuk mengatakan saya minta maaf”.[2] Pemaknaan apologetika yang keliru tersebut perlu penulis jelaskan dan batasi dalam tulisan ini, yaitu hanya pada penggunaan secara teknis atas dasar pertimbangan etimologi agar tidak keliru.
Di kalangan akademisi teologi, para Teolog pun memilki pengertian yang berbeda-beda mengenai makna apologetika (namun tentu tidak dalam pengertian “permintaan maaf”). Pratt misalnya, ia membedakan istilah apologi dengan apologetika. Menurutnya, “apologi” adalah pebelaan yang diberikan sedangkan “apologetika” adalah suatu study yang secara langsung mempelajari bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu.[3] Tak jauh  berbeda, mengutip Verkuyl, Indra mengatakan “apologi adalah pertanggung jawaban atas isi iman kita terhadap mereka yang bertanya, sedangkan apologetika adalah pemikiran secara ilmiah tentang cara bagaimana kita menjawab pertanyaan tentang isi iman kita.[4] Sejalan dengan dua Teolog diatas, Sproul mendefinisikan Apologetika sebagai “Suatu pernyataan yang nalar atau suatu pembelaan verbal.[5] Ia kemudian menyimpulkan maknanya dengan lebih spesifik sebagai suatu usaha untuk “…mempertahankan dan berargumentasi untuk sudut pandang tertentu.[6] Namun berbeda, baik dengan Sproul, maupun yang lainnya, Frame mendefinisikan Apologetika sebagai “Aplikasi Alkitab kepada mereka yang tidak percaya”[7], karena ia percaya bahwa Apologetika merupakan salah satu bagian dari Teologi Kristen yang bersumber dari pengajaran Alkitab. Meskipun terdapat perbedaan pandangan dari masing-masing Teolog, namun pada prinsipnya memiliki satu muara yang sama, yaitu pembelaan dan pertanggung-jawaban Iman Kristen.
Kata “Kristen” hanya muncul tiga kali didalam Alkitab, yaitu didalam Kisah Para Rasul 11:26, 26:28; 1 Petrus 4:16. Istilah ini merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat kafir pertamakali di Antiokhia sebagai suatu bentuk sindiran bagi para pengikut Kristus[8] yang kemudian terus mengalami perkembangan makna hingga kini.  Dalam kerangka pemikiran modern saat ini, istilah “Kristen” dipahami sebagai suatu system organisasi/lembaga keagamaan yang didasari atas unsur-unsur pengajaran doktrinal[9] yang mendasar mengenai pengharapan iman yang berpusat pada Pribadi serta karya agung dari Tuhan Yesus Kristus
Dengan demikian, makna penting dari istilah “Kristen” memilki dua muatan makna, makna dalam pengertian praktis sebagai suatu bentuk hubungan intim setiap pribadi Orang percaya dengan Tuhan Yesus, dan makna dalam unsur lain, yaitu merupakan kelembagaan yang memuat sejumlah tata aturan dan dogma (sekaligus memuat hal-hal yang erat kaitannya dengan syarat kelengkapan suatu agama dalam konteks bernegara di Indonesia sesuai dengan undang-undang yang ada).
Dengan meneliti kedua istilah diatas maka penulis mengambil kesimpulan dengan mengkorelasikan keduanya dalam satu sintesa yaitu,  “Apologetika Kristen” sebagai suatu bentuk pembelaan dan pertanggung jawaban Iman Kristen—baik eksternal, maupun internal—yang  bertolak dari prinsip-prinsip kebenaran Alkitab terhadap pernyataan menyimpang yang mengancam serta merusak unsur-unsur iman Kristen dengan rasio yang dikuduskan. Atau seperti pandangan Frame, Apologetika Kristen merupakan “Ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggung jawaban tentang pengharapannya.[10]
 Apologetika Dalam Perjanjian Baru.
Apologetika bukanlah hal yang baru dalam dunia Perjanjian Baru. Kata apologia sendiri di dalam Alkitab digunakan sebanyak delapan kali, yaitu, dalam Kisah Para Rasul. 22:1; 25:16; 1 Korintus 9:3; 2 Korintus 7:11; Filipi. 1:7, 16; 2 Timotius 4:16; 1 Petrus 3:15. Sedangkan kata kerja  apologeomai  muncul sebanyak 10 kali dalam Lukas 12:11; 21:14; Kisah Para Rasul 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2, 24; Roma. 2:15; dan 2 Korintus 12:19.[11] Kemudian kegiatan apologetika sendiri telah hadir semenjak berita Injil dideklarasikan untuk mengkonfrontasi setiap wawasan dunia yang menyimpang. Dengan kata lain, apologetika telah ada semenjak Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya. Stott melihat hal tersebut dan menyorotinya dari sisi yang berbeda, Ia menjelaskan demikian, 
Gambaran yang popular tentang Krisus sebagai “Yesus yang lemah lembut dan rendah hati” jelas tidak tepat (karena) Ia tidak menahan diri  ketika tiba waktunya untuk menyingkap kesalahan … Para penulis Alkitab memperlihatkan betapa Ia kerap berdebat dengan para pemimpin agama di masa-Nya.[12]
Salah satu contoh[13] apologetika yang dilakukan Tuhan Yesus dapat dilihat dalam Injil Matius pasal 22:23-33 (Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40). Pada peristiwa tersebut, Tuhan Yesus mengkonfrontasikan kekeliruan presuposisi kalangan saduki yang berpendapat bahwa “tidak ada kebangkitan” dengan dua kunci, yaitu keliru presuposisi mereka mengenai “Kitab Suci dan kuasa Allah!”. Jadi jelas bahwa prinsip-prinsip utama apologetika telah ada secara implisit dalam konsep pemberitaan dan pelayanan Tuhan Yesus.
Contoh lainya dalam pelayanan para Rasul dapat dijumpai seperti apologetika Rasul Petrus pada peristiwa pentakosta (Kisah Para Rasul 2:14-40) dan apologetika Rasul Paulus di hadapan raja Agripa (Kisah Para Rasul 26:1-29). Kedua contoh tersebut merupakan gambaran yang cukup jelas mengenai beberapa kasus apologetika dalam Perjanjian Baru, dimana apologetika telah dipergunakan sebagai instrument yang saling melengkapi pada saat pemberitaan dan pertanggung jawaban berita Injil.
 Pentingnya Apologetika.
Pada umumnya,  kendala Orang percaya untuk berapologetika adalah sudut pandang dan prasangka yang keliru mengenai apologetika. Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Pratt, menurutnya,
Alasan lain yang sering kali dipakai untuk mengabaikan apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan orang-orang terlatih … oleh karena itu banyak orang Kristen yang berpikir bahwa tugas mereka hanya untuk mengabarkan Injil dan kalau ada pertanyaan mengenai kredibilitas dari iman Kristiani maka mereka akan membawa orang itu kepada Pendeta mereka, yang dianggap sebagai “tenaga ahli”[14]
Apologetika selalu dipahami sebagai kegiatan intelektual yang rumit sehingga Orang percaya awam kurang tertarik dengan apologetika. Disamping itu, dalam konteks berbudaya, khusunya “etika toleran” dalam konteks masyarakat Indonesia, sifat apologetika yang sarat akan konfrontasi serta menyentuh unsur mendasar dari keyakinan seseorang, dan kondisi emosinal Apologis yang tidak stabil, dipandang sebagai suatu kegiatan yang berbahaya karena rentan terjadi konflik horisnotal. 
Tentu saja hal ini keliru, karena persepsi demikian juga mengakibatkan efek samping yang tak kalah memprihatinkan, yaitu dasar iman yang rapuh (karena tidak memiliki isi), sikap kompromi, dan pada tahap yang lebih serius mengakibatkan kesesatan. Disamping itu, konflik wawasan dunia tidak mungkin dapat dihindari mengingat orang percaya harus hadir menjadi pembawa berita Injil didalam dunia yang memiliki worldview yang pada prinsipnya berbeda. Untuk itu, baik secara sistematis maupun tidak, baik dengan pemahaman yang mendalam, maupun sempit—cepat atau lambat—orang  percaya akan terlibat dalam kegiatan berapologetika. Maka tidak ada jalan lain selain memeprsiapkan diri dengan baik seperti yang ditegaskan oleh Stott, “ketekunan tanpa pengetahuan sama buruknya dengan pengetahuan tanpa ketekuanan”[15].
Alasan lain yang juga ikut mempengaruhi kurangnya minat orang percaya untuk mendalami apologetika adalah kekeliruan penafsiran atas salah satu ayat yaitu dalam Matius 10:19, “Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga”. Penafsiran yang keluar dari konteks tersebut menyebabkan Orang percaya tidak ingin repot-repot mempersiapkan diri. Mengomentari hal ini, Pratt menegaskan bahwa: 
Sangat penting untuk dimengerti bahwa jaminan akan diberikannya kekuatan dari Roh Kudus jangan diartikan sebagai pengganti dari ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan mempersiapkan diri untuk berapologetika. Walaupun kita dianjurkan untuk tidak khawatir akan makanan dan pakaian (lih. Mat. 6:25 dan selanjutnya), kita tetap dianjurkan untuk tetap bekerja dan berjerih payah untuk mendapatkan semuanya itu. Demikian juga dengan berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk mempersiapkan diri.[16] 
Dengan demikian maka, baik kekeliruan dalam penafsiran maupun penekanan yang tidak sehat terhadap pimpinan Roh Kudus, pada prinsipnya akan menyebabkan Orang percaya menjadi “mandul” dalam mempertanggung jawabkan Iman, dan akan lebih cendrung untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan sulit.
Disamping kendala-kendala diatas, Pratt juga memberikan beberapa alasan mendasar mengenai pentingnya apologetika bagi Orang percaya. Ia mengatakan bahwa, dengan mempelajari apologetika maka orang percaya akan mampu mempertahankan Imannya, penginjilan menjadi lebih bersemangat dan efektif, mampu mempresentasikan Iman Kristen kapanpun—dihadapan siapupun, serta mampu menghilangkan keraguan yang menghalangi pertumbuhan Iman[17].
Dilain pihak, menyoroti aspek lain dari pentingnya apologetika, Sproul menjelaskan demikian, 
Di satu sisi,  sebagaimana yang Calvin katakan, kemenangan (apologis Kristen) itu bisa menghentikan gonggongan orang tidak percaya; dan disisi lain, kemenangan intelektual memberikan jaminan dan perlindungan bagi orang Kristen yang masih bayi secara rohani yang belum siap untuk menjawab hujam kritikisme dari kaum akademisi dan skeptis. Kemenangan secara intelektual bisa menjadi suatu peneguhan bagi iman Kristen.[18]
Apologetika menjadi penting karena bukan hanya menyangkut kegiatan si Apologis yang mempertahankan Imannya, namun juga memiliki efek samping kepada Orang percaya lain yang masih “bayi”, dimana mereka diteguhkan dan dikuatkan dengan jawaban dan argumentasi yang memuaskan. 
Meringkas alasan pentingnya apologetika, Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli mendasari atas ketaatan orang percaya kepada kehendak Allah melalui Firman-Nya. Mereka menjelaskan, “Penolakan untuk memberi pertanggung jawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidak taatan kepada Allah”[19]. Kemudian dari sisi praktisnya, disoroti dari dua hal penting yaitu,  “untuk meyakinkan orang yang tidak percaya dan untuk mengajar dan membangun orang percaya”[20]
Menyadari akan alasan-alasan mendasar diatas maka study apologetika sangatlah penting karena memiliki dampak secara langsung bagi kehidupan dan pertumbuhan iman Orang percaya.
 Peran dan Fungsi Apologetika.
Apologetika memiliki beberapa peran dan fungsi sesuai dengan konteks penggunaannya. Frame mengemukana tiga alasan mendasar mengenai peranan dan fungsi apologetika dalam Iman Kristen[21]. Tiga hal tersebut yaitu,
1.   Apologetika sebagai pembuktian. Dalam konteks ini apologetika berfungsi sebagai pembuktian, apologetika menyediakan penjelasan-penjelasan yang rasional kepada pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain,  apologetika sebagai pembuktian berkaitan erat dengan “usaha untuk menjelaskan” prinsip-prinsip Iman, baik kepada Orang percaya yang kurang memahami, maupun kepada pihak lawan.  (Bdk. Yohanes 14:11; 20:24-31; 1 Korintus 15:1-11).
2.   Apologetika sebagai pembelaan. Pada bagian ini, apologetika berperan memberikan jawaban dan pembelaan terhadap serangan-serangan dari pihak lawan. Disini apologetika berkaitan dengan “pertahanan” Iman. (bdk. Filipi 1:7, ay.16).
3.   Apologetika sebagai penyerangan. Frame dengan tegas mengatakan “Tuhan tidak hanya memanggil umatNya untuk menjawab keberatan-keberatan dari mereka yang tidak percaya, tetapi juga melanjutkannya dengan serangan terhadap kepalsuan”[22] (Bdk. 2 Korintus 10:5). Sebagai bentuk serangan, apologetika berfungsi untuk meruntuhkan worldview lawan yang menyimpang, karena Alkitab menyatakan pemikiran non-Kristen adalah kebodohan (1 Korintus 1: 18-2:16; 3:18-23) dan salah satu fungsi lain dari apologetika adalah untuk menyatakan kebodohan tersebut.
Berbeda dengan Frame, Sproul mengemukan peranan yang berbeda. Menurut Sproul, apologetika memilki peran penting dalam dua hal,
1.   Apologetika sebagai instrument “prapenginjilan”. Sproul mengatakan, “Sebelum kita bias mengajak orang kepada iman yang menyelamatkan, kita haru memberikan informasi atau isi dari kepercayaan yang kita ingin mereka percayai”[23]. Disini, apologetika berfungsi untuk mengkonfrontasikan setiap keyakinan yang menyimpang dan kemudian membuka jalan bagi berita Injil.
2.   Apologetika sebagai instrument “pascapenginjilan”. Fungsi berikutnya, apologetika berperan menjaga dan melestarikan iman orang percaya yang telah mengalami kelahiran baru dari pengaruh buruk dan kesesatan.
 
Sedangkan menurut Nash, peranan apologetika dibagi menjadi dua bagian yang secara umum digunakan oleh Apologis[24] (baik apologis Kristen maupun non-Kristen), yaitu:
1.   Apogetika  negatif.  Dalam konteks ini,  Apologis menanggung beban pembuktian, atau lebih dikenal sebagai apologetika bertahan. Pada kerangka ini apologetika berfungsi untuk mempertahankan prinsip-prinsip Iman Kristen dari serangan dan sanggahan pihak lawan.
2.   Apologetika positif. Merupakan apologetika penyerangan (defensive). Disini Apologis mempergunakan metode dan prinsip-prinsip apologetika dalam memberikan argumentasi-argumentasi untuk meruntuhkan preposisi dan klaim-klaim yang dipegang lawan. 
        Namun baik apologetika negative maupun positif, keduanya perlu dikuasai dengan baik oleh Apologis karena didalam kegiatan berapologetika akan selalu terjadi argumentasi dua arah. Untuk itu baik sebagai bentuk penyerangan (Positif), maupun pertahanan (Negatif), prinsip dan metode dasar apologetika perlu diperhatikan.
 Penutup.
     Seperti yang telah disampaikan bahwa jatuh bangunnya iman Kristen berkaitan erat dengan pemahaman mengenai konten iman itu sendiri, yang mana berhubungan erat dengan pembelajaran, pemberitaan dan pertanggung-jawaban berita Injil. Maka kegiatan berapologetika tidak dapat dipisahkan dalam iman kristiani sebagaimana tanggung-jawab yang diemban untuk menjadi saksi Kristus dalam segala keadaan.  Kiranya Roh Kudus memimpin, mencerahkan, dan memampukan kita untuk berapologetika dalam kebenaran yang bermartabat, sehingga hanya nama Kristus yang dipermuliakan. Soli Deo Gloria!


[1]Sinclair B. Ferguson, David F. Wrigth, J. I. Packer, New Dictionary of Theology—Jilid 1 (De Monfort, Leicester: Inter-Varsity Press, 1998), 52.
[2] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive: A Study Manual for the Defense of Christian Truth (Philipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1979),2.
[3] Ibid.
[4] Ichwei G. Indra, Perjumpaan Iman Kristen dan Kebudayaan (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001), 11.
[5] R.C.Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003),1.
[6] Ibid.
[7] John M. Frame , The doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1987), 148. Meskipun berbeda dalam definisi namun Pratt memiliki presuposisi yang sama dengan Frame. Dalam hal tersebut, kedua tokoh Apologis ini mewakili sebagain besar pemikiran Apologis Reformed yang mendasari argumentasi dari Alkitab. Lihat pembahasannya dalam metode apologetika pada bab. II.
[8] Kisah Para Rasul 11:26.
[9] Tidak semua Teolog dan Orang percaya setuju dengan definisi penulis tersebut, terutama dalam pengertian “doktrinal yang kaku. Misalnya, Elmer L. Towns. Ia menulis “kata Kristen bukanlah tentang doktrin, atau segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Orang-orang itu disebut Kristen karena mampunyai hubungan dengan Yesus Kristus.” Elmer L. Towns, Core Christianity:What is Chirtianity All About? (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2007), 1. Tentu pendapat tersebut tidaklah keliru jika ditinjau dari segi praktika, namun disisi lain pandangan ini juga memiliki kelemahan karena pada dasarnya Iman Kristen dibangun diatas dogma-dogma yang didasari atas Firman Allah. Mempercayai Kristus sebagai juruselamat dan membangun hubungan pribadi dengan-Nya juga merupakan suatu dogma, dengan demikian tidak ada relasi dengan Tuhan tanpa didasari oleh dogma. Namun untuk membatasi pembahasan agar tetap terfokus maka maksud penggunaan istilah “Kristen” dalam tulisan ini hanya dalam batasan tertentu—bukan dalam pengetian “praktis atau hubungan intim dengan Tuhan—tetapi dalam konteks teknis yang menyangkut core dogma Iman Kristen. (Beberapa argumentasi yang baik, lihat: John RW. Stott, Christ The Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013), 15-16; R.C.Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003), 22; Dan juga, Bernhard Lohse, Epochen der Dogmengeschichte (Kreus Verlag: Stuttgardt, 1963), 1-10).
[10] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed:1994), 3. Pandangan tersebut juga sejalan dengan pendapat Sproul. Sproul mengatakan bahwa tugas utama Apologetika Kristen adalah menyediakan pembelaan terhadap kebenaran yang diklaim oleh iman secara intelektual. R.C.Sproul, Defending Your Faith…, 1.
[11] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid II. (Malang : Literatur SAAT, 2003), 103-104.
[12] John RW. Stott, Christ The Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013), 43.
[13] Tentu terdapat banyak contoh lain, namun contoh kasus ini dipilih oleh penulis karena memilki kelengkapan kriteria untuk sebuah study kasus apologetik tradisional yang cukup baik dalam masa pelayanan Tuhan Yesus.
[14] Ibid, hal. 10.
[15] John RW. Stott, Your Mind Matters (England: InterVarsity Press, 1992), 5.
[16] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive... 8-9.
[17] Ibid, hal. 11-12.
[18] R.C.Sproul, Defending Your Faith... 17.
[19] Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1994), 25.
[20] Ibid.
[21] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God... 4-5.
[22] Ibid.
[23] R.C.Sproul, Defending Your Faith...  21.
[24] Ronald H. Nash, Faith and Reason: Searching for a Rational Faith (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1988), 20-25.