Jumat, 28 September 2018

TUHAN BERANAK SIAPA BIDANNYA?

Menggugat: “Tuhan Beranak, Siapa Bidannya?”

-oleh : yb-



          Pertanyaan yang menjadi judul di atas, merupakan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tokoh agama sebagai bentuk kritik terhadap konsep “Anak Allah” yang disandang Kristus. Sama seperti ketidakpahaman kaum bidat, pertanyaan tersebut mungkin mewakili sebagian besar pandangan kalangan agamawan “rasionalis” abat ini, yang entah dengan sengaja maupun tidak merupakan suatu bentuk serangan  terhadap Iman Kristen. Namun sayangnya, pertanyaan retoris tersebut justru mengkonfirmasikan kedangkalan pemahaman mereka terhadap Iman Kristen, khususnya konsep Kristologi. 

Benarkah Allah (Kristen) beranak?

          Pernyataan “Allah beranak” merupakan suatu bentuk pernyataan yang bertolak dari dua hal, pertama kegagalan teologis (khususnya gramatikal) dalam konsep teologis, dan kedua pendekatan rasionalitas yang salah tempat.

1. Kekagalan Teologis.
          Kegagalan untuk memahami konsep teologi suatu keyakinan merupakan faktor terbesar dalam kegagalan studi perbandingan agama. Hal ini menyebabkan kebanyakan para teolog dan orang awam selalu menafsirkan suatu doktrin atau ajaran agama lain dengan menggunakan “kaca mata kuda” yang subjektif. Yang paling menyedihkan terkadang mereka menganggap dirinya lebih tahu dan paham akan ajaran agama lain, sehingga dengan mudahnya mengeluarkan argumen-argumen yang tendensius dan sesat. 
          Penggunaan istilah seperti “Anak”, “Bapa”, “Firman”, “Tritunggal”, dll, memang tidak sempurna karena pada prinsipnya tidak ada bahasa manusia yang dengan tepat dapat mendefinisikan natur kejamakan pribadi Allah (Allah = Elohim. Ibr. memiliki makna jamak) serta relasi-Nya dengan Sang Firman secara sempurna. Istilah-istilah tersebut hanya menggambarkan secara figuratif dalam pemaknaan teologis namun memiliki kecukupan dalam segi pewahyuan bagi manusia. 
          Adalah merupakan suatu kesesatan jika kekristenan mengajarkan bahwa “Allah beranak” dalam pengertian yang harfiah, sehingga Kristus adalah “Anak Allah”. Hal tersebut bukan hanya kesesatan, akan tetapi lebih dari pada itu merupakan kekurang-ajaran dan dosa yang besar terhadap Allah!. Gelar “Anak Allah” dalam konsep Iman Kristen merupakan suatu gelar yang umum bagi Umat Allah, dimana gelar tersebut menggambarkan relasi kekeluargaan yang intim dengan Allah (Kel. 4:22; Hos. 11:1; 2Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun Umat Tuhan hingga saat ini yang memahami gelar “Anak Allah” tersebut dalam pengertian harfiah bahwa ia adalah “anak biologis Allah”. 
          Bagaimana dengan Kristus? Berbeda dengan Umat Allah dalam Perjanjian Lama dan Orang beriman dalam Perjanjian Baru yang menyandang gelar “anak Allah”, Yesus Kristus sangat unik karena Ia disebut sebagai ANAK TUNGGAL ALLAH (Yoh. 1:18, 3:16, 3:18; 1Yoh. 4:9). Perhatikan bahwa bagi umat Allah, Alkitab menyebut mereka dengan sebutan “anak-anak Allah”, namun dengan penekanan yang berbeda kepada Yesus Kristus, Alkitab bersaksi bahwa Ia adalah “Anak Tunggal Allah”. Alkitab membedakan secara tegas antara gelar sebagai “anak Allah” kepada Kristus dan Umat Tuhan. Umat Tuhan adalah “anak-anak Allah” karena mereka percaya dan beriman kepada-Nya, akan tetapi Kristus berbeda, Kristus adalah satu-satunya Anak Allah yang memang memiliki hakikat Ilahi yang setara dengan Allah (Yoh. 1;1), karena Ia adalah Sang Logos (Firman Allah) yang berasal dari Allah sendiri (Yoh. 8:42; Yes. 55:11).
          Sederhananya, kita menjadi “anak Allah” karena Iman, namun Kristus tidak, karena Ia adalah Sang Firman yang adalah Allah sendiri. Analoginya demikian, ketika saya menuangkan ide pemikiran saya ke dalam catatan, maka “Ide” yang dahulunya “bersama-sama” dengan saya, kini telah tertuang “keluar” ke dalam suatu catatan (tentu saja analogi tersebut tidak sempurna). Demikian juga Kristus. Ia yang adalah Firman Allah, yang kini menjadi manusia.  Namun berbeda dengan suatu “ide” yang keluar kemudian menjadi catatan pada suatu benda mati, Kristus dalam natur Ilahi-Nya sama sekali tidak mengurangi kekuasaan dan kedaulatan-Nya ketika Inkarnasi, hanya saja Ia membatasi dalam ketaatan mutlak yang mengagumkan kepada Bapa (Fil. 2: 6-8). Ia adalah Allah sejati dan Manusia sejati. Ia memiliki sifat Allah, dan juga manusia secara bersamaan namun tidak berbaur. Sebagai Allah, Ia TIDAK DILAHIRKAN, Ia kekal, namun sebagai manusia, Ia masuk kedalam ruang dan waktu, 2000 tahun lalu (Ibr. 1:2). Hal ini merupakan suatu paradoks dan suatu misteri Ilahi yang melampaui akal budi manusia yang memang dinyatakan oleh Allah sendiri melalui kebenaran Firman-Nya dalam Alkitab.
          Maka istilah “Anak Allah” tersebut merupakan pemaknaan teologis dan bukan dalam pengertian biologis. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemaknaan harfiah dan prinsip logis, seolah-olah karena terdapat premis “Anak Allah” maka konsekwensi logis dari hal tersebut mengakibatkan “Allah harus beranak”. Hal ini merupakan kesesatan dan kegagalan pemahaman teologis, karena Iman kristen tidak pernah mengajarkan hal demikian, bahkan menentang hal tersebut karena sesat!

2. Rasionalis Salah Tempat.
 
          Kalimat tanya tentang “Kalau Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” merupakan kritikan yang sarat akan pemaknaan rasional dan logis, namun salah tempat. Kekristenan yang ortodoks akan mentertawakan kebodohan dari pernyataan demikian, karena tentu saja hal tersebut jauh dari konsep Iman kristiani yang sesungguhnya. Analisa rasional dan logis tidak selalu menjadi landasan yang valid dalam mencari kebenaran dalam teks-teks kitab suci. Teks-teks Alkitab memiliki gendre dan gaya bahasa yang beragam, maka dalam beberapa gaya bahasa tertentu, hal tersebut tidak dapat terapkan dan diartikan secara harfiah. 
          Ketika saya mengatakan bahwa “Allah adalah gunung batu dan kota benteng”, maka secara harfiah, kalangan rasional-logis akan mencemooh pernyataan tersebut karena secara logis, hal tersebut keliru dan sesat pikir, namun kalangan sastrawan yang mengerti akan gendre sastra akan dengan mudah menangkap pesan dari pernyataan tersebut sebagai suatu gambaran figuratif mengenai kekuatan Allah yang dasyat dimana tentu saja hal tersebut tidaklah keliru. 
          Seperti contoh diatas, maka pernyataan “Tuhan beranak, terus bidannya siapa?” yang ditujukan bagi konsep Allah dan kristologi dalam teologi Kristen, merupakan pernyataan yang gagal paham secara rasional (karena tentu saja Allah tidak beranak), gagal paham secara gramatikal (karena gagal memahami gendre sastra Alkitab), dan gagal paham secara teologis dalam konsep teologi Kristen (karena memahami Kristus secara salah dimana Ia dipahami sebagai “Anak Allah” dalam pengertian harfiah dan natural, seolah-olah Allah menikah dengan Ibu Maria dan menghasilkan Kristus sebagai keturunan biologis-Nya). Adalah lebih bijak jika kita memahami suatu isu teologis dengan baik dan benar dalam berbagai perspektif sebelum mengkritisinya, sehingga tidak menyebabkan kita terjebak dalam kesesatan konsep logika--strawman. Tuhan memberkati.

 Soli Deo Gloria!

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1).

YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN?

Pembelaan Terhadap Ke-Tuhan-an Yesus Kristus[1]

Oleh : yb
  --
Pendahuluan.
          Pokok pengajaran Kristologi Tinggi mengenai klaim ke-Tuhanan Kristus, merupakan prinsip utama kekristenan yang sangat penting, mengingat jatuh bangunnya pondasi iman Kristen bergantung sepenuhnya pada Pribadi Kristus.  Stott mengatakan bahwa satu-satunya agama di dunia ini yang berpusat pada seorang Pribadi, adalah kekristenan. Andai kata keyakikan akan ke-Tuhanan-Nya ditolak, maka kekristenan sudah pasti akan lenyap.[2] Berikut penulis menjabarkan beberapa bukti Alkitab yang mengkonfirmasikan natur ke-Tuhan-an Kristus baik secara eksplisit maupun implisit melalui ucapan dan tindakan-Nya, yang mana sekaligus merupakan pondasi dasar iman Kristen mengenai Kristologi tinggi.
Otoritas Pernyataan Kristus Yang Sama Dengan Allah.
          Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus memiliki keunikan dan berbeda dengan para nabi dalam Perjanjian Lama. Mereka yang hanya menganggap Ia sebagai seorang nabi, akan sangat tercengang ketika berhadapan dengan klaim-klaim yang Ia ucapkan. Berikut beberapa pernyataan yang patut dipertimbangkan: Yesus berdoa agar Bapa mempermuliakan diri-Nya dengan kemuliaan milik-Nya (Yoh.17:5), akan tetapi PL hanya mengakui ada satu Tuhan (Ul.6:4; Yes.45:5), dan Tuhan tidak akan membagikan kemuliaan-Nya kepada siapapun (Yes.42:8). Yesus memproklamirkan diri-Nya sebagai “Yang awal dan yang akhir” (Why.1:7), suatu pernyataan yang sama dengan Tuhan dalam PL dalam memperkenalkan diri-Nya (Yes.44:6). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “Gembala yang baik” (Yoh.10) yang juga merujuk pada pekerjaan yang sama ketika Tuhan membimbing umat Israel dalam PL (Mzm. 23:1; Yeh.34:12). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai hakim segala bangsa (Mat. 25:31; Yoh. 5:27) yang sejajar dengan PL, dimana Tuhan akan menghakimi segala bangsa (Yl. 3:12).Yesus menyatakan diri-Nya sebagai terang dunia (Yoh.8:12), yang sejajar dengan perkataan Tuhan dalam Yesaya 60:19, dan juga pengakuan Daud bahwa “TUHAN adalah terangku” (Mzm.27:1). Yesus mengklaim diri-Nya sebagai sumber dan otoritas pemberi hidup  seperti Bapa (Yoh.1:4; 5:21). Tetapi PL jelas mengatakan bahwa hanya Allah saja yang menghidupkan orang mati (Yes. 16:19;  Dan. 12:2;  Ayb. 19:25). Di sini Yesus tidak sedang berbicara mengenai karunia kesembuhan seperti para Nabi dan Rasul, tetapi kuasa dan otoritas. Karunia adalah pemberian, tetapi kuasa dan otoritas adalah milik Allah. Yesus mengklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar (Yoh.14:6). Hal ini hanya dimungkinkan jika Yesus adalah Allah yang menyatakan kepada manusia.[3] Yesus mengklaim diri-Nya “Bukan berasal dari dunia” tetapi semua manusia dari dunia (Yoh.8: 23), Ia telah ada sebelum Abraham jadi (Yoh.8:58).
Perumpamaan Yang Merujuk Pada Klaim ke-Ilahian-Nya.
          Selain itu, terdapat  beberapa hal menarik yang perlu diteliti berkaitan dengan beberapa perumpamaan dalam pengajaran yang Yesus lakukan. Jika diperhatikan maka akan dijumpai bahwa Ia bukan hanya menyampaikan suatu pesan dan pengajaran kepada para pendengar-Nya, namun Ia juga menyampaikan pesan implisit mengenai klaim ke-Tuhanan-Nya. Dalam Injil dalam Lukas 15: 32 misalnya. Pada pasal ini, Tuhan Yesus memberikan tiga perumpamaan yaitu “Domba yang hilang”, “Dirham yang hilang” dan “Anak yang hilang”.  Pesan implisit dari ketiga perumpamaan ini adalah Ia menempatkan diri-Nya sebagai seorang Gembala, seorang pemilik Dirham, dan seorang Ayah, yang mencari milki-Nya yaitu, Anak, domba, dan Dirham. Ia tidak menempatkan diri dalam posisi sebagai “domba” tetapi sebagai “Gembala”  seperti halnya Allah dalam PL (Luk.19:10; Yoh.10:11; Yeh. 34:11; Mzm. 103:8-13).Beberapa kesempatan, Yesus mengumpamakan dan menempatkan diri-Nya sebagai “Mempelai Pria” seperti dalam Injil Markus 2:19; Matius 9:15; 25:1; Lukas 5:34, dan juga pada perumpamaan tentang “Gadis bijaksana dan bodoh” (Mat.25:1-13). Hal ini sejalan dengan kesaksian PL ketika Allah mengidentifikasikan diri-Nya sebagai “Mempelai Pria” Israel (Yes. 62:5; Hos. 2;16).
Mengutip Philip Payne, Geisler menjelaskan bahwa dari lima puluh dua narasi berbentuk perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus, dua puluh diantaranya menggambarkan secara implisit mengenai kesejajaran-kesejajaran pribadi Yesus dengan Allah dalam PL.[4] Pernyataan-pernyataan demikian tidak akan keluar dari mulut seorang Guru, bahakan seorang Nabi sekalipun. Semua Tokoh agamawan dan para pendiri agama akan selalu mengajar dan merujuk pada suatu jalan yang benar, tetapi mereka tidak pernah mengkalim dirinya benar dan bebas dosa, kecuali Yesus (Yoh. 8:46; 14:6).
Beberapa Bukti Lainnya.
          Bukan hanya melalui pernyataan lisan, namun juga dari sikap ekplisitnya mengenai penyembahan. Di beberapa kesempatan, Yesus  menerima penyembahan yang sejajar dengan Allah. Dalam konteks Perjanjian Lama, terutama dalam Hukum Taurat, penyembahan hanya boleh dilakukan kepada Allah Israel, diluar itu marupakan suatu pelanggaran berat (Kel. 20:1-5; Ul. 5:7-9). Namun dalam Perjanjian Baru, para murid yang memiliki latar belakang penganut monoteis fanatik, mereka juga menyembah kepada Yesus, layaknya kepada Allah. Penyembahan yang mereka lakukan tentu bukan hanya suatu sikap tanpa makna, akan tetapi tindakan tersebut menyatakan sikap hati, keyakinan, dan pengharapan mereka kepada Yesus. Hal tersebut dikonfirmasi melalui peristiwa-peristiwa ajaib yang Ia lakukan. Didalam PB,tercatat paling sedikit sepuluh kali Tuhan Yesus disembahan: Seorang sakit kusta menyembah Dia (Mat. 8:2), Sebelum anaknya dibangkitkan Yesus, seorang kepala rumah ibadat menyembah Dia (Mat. 9:18), Setelah badai diredakan, Murid-murid yang berada di dalam perahu menyembah Dia (Mat. 14:33), Sebelum anaknya yang kerasukan setan disembuhkan, seorang perempuan Kanaan menyembah Dia (Mat. 15:25), Sebelum seorang kerasukan setan disembuhkan, ia menyembah Yesus (Mrk. 5:6), Seorang buta yang telah disembuhkan menyembah Yesus (Yoh. 9:38), Anak-anak Zebedeus dan ibu mereka menyembah Yesus (Mat. 20:20), Setelah kebangkitan-Nya, murid-murid menyembah Dia (Mat. 28:9), Sebelum memberikan perintah untuk mengabarkan Injil, murid-murid menyembah Dia (Mat. 28:17), dan yang terakhir adalah ketika Tomas Menyembah Dia (Yoh.20:28). 
Dalam meresponi hal tersebut, Yesus tidak pernah menolak penyembahan yang ditujukan kepada-Nya. Sebaliknya, para Rasul (KPR. 14:14-15) dan Malaekat (Why. 19:10) menolak untuk menerima penyembahan dari manusia. Maka pertanyaan penting untuk diajukan adalah siapakah Yesus sehingga Ia layak menerima Pujian(Why.7:10, 15:3) dan Penyembahan?, tentu saja Ia adalah Allah (Yoh.1:1).
Tindakan-Nya Yang Hanya Dapat Dilakukan Oleh Allah.
Selain pernyataan, respon penyembahan, dan perumpamaan-perumpamaan Yesus yang menyatakan ke-Ilahian-Nya, Alkitab juga mencatat beberapa tindakan Yesus yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Ia mengampuni dosa (Mrk. 2:5-11). Tindakan ini menimbulkan respon dari para ahli Taurat dengan pertanyaan yang mengherankan, “Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” Tetapi perhatikan bahwa Ia tidak pernah memohon pengampunan dosa bagi diri-Nya, hal itu hanya dimungkinkan jika Ia memang Allah. Kemudian  para Rasul bersaksi dan menulis bahwa Ia tidak berdosa (1Ptr. 1:19; 1Ptr. 2:22; 1Yoh.3:5;  2Kor. 5:21; Ibr.4:15). Ia memiliki kuasa (Omnipotent) bukan hanya dibumi tetapi juga di sorga, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa disorga dan di bumi” (Mat. 28:18-19), Ia berkuasa atas alam semesta (Luk.8:24-25). Ia berkuasa atas  roh-roh jahat (Luk.8:26-39; Mat.8:28-34; Mrk.5:1-20).  Ia berkuasa atas bebagai penyakit dan kematian (Mat.4:24; Mat. 11:15; 15:30, dst).  Ia maha tahu (Omniscience). Yesus tahu mengenai pikiran Orang (Mat.12:25; 22:18; 26:10; Mrk. 2:8, dst), Ia mengetahui kehidupan wanita samaria (Yoh.4:16-19), Ia mengetahui pribadi Natanael (Yoh.1:47-50), Ia mengetahui bahwa Yudas akan menghianati-Nya (Yoh.6:64).Ia maha hadir (omnipresent). Ia hadir disegala tempat ketika orang percaya berkumpul (Mat.18:20), Ia hadir didalam hati orang percaya (Yoh. 14:20; 2Kor. 13:5), Ia telah berada di sorga, namun Ia juga menyertai semua orang percaya hingga akhir  zaman (Mat.28:20). Ia transenden sekaligus imanen.Ia kekal (Why.1:8), dan  Ia ada dengan sendiri-Nya (Yoh. 8:58).Ia tidak berubah (Ibr.13:8). Perkataan-Nya kekal (Mrk.13:31).Ia meminta Orang percaya (bahkan para Rasul yang memiliki latar belakang Yahudi—monoteis, dan beberapa diantaranya adalah saudara Tuhan!) agar berdoa dalam nama-Nya: “dan apapun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya ... Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya (Yoh. 14:13-14); Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal didalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh. 15:7).
Pertimbangan lainnya adalah Ia memusatkan inti dari pengajaran-Nya pada diri-Nya sendiri. Sedikitnya tujuh kali Ia berkata “Akulah!” (Ego Eimi) yang setara dengan Allah ketika memperkelalkan diri kepada Musa dalam Keluaran 3:14. “Akulah Roti Hidup” (Yoh. 6:35), “Akulah terang dunia” (Yoh. 8:12; 9:5),“Akulah Pintu” (Yoh. 10:9), “Akulah Gembala yang Baik” (Yoh. 10:11), “Akulah Kebangkitan dan Hidup” (Yoh. 11:25), “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup” (Yoh. 14:6 ), “Akulah Pokok Anggur yang Benar” (Yoh.15:1). Mengomentari hal tersebut, Stott menjelaskan bahwa hal yang pantas dicatat adalah Kristus berbicara tentang kerajaan Allah, namun secara mengejutkan Ia memusatkan ajaran-Nya pada diri-Nya.[5] Suatu sikap egosentris (dalam pemahaman yang absolut sebagai Allah) yang bahkan para pendiri agama manapun tidak akan berani mengklaim demikian.  Hal ini hanya memungkinkan jika Kristus menyadari dengan sungguh mengenai siapa diri-Nya, karena jika tidak, Ia tentu telah melakukan dosa besar dengan menghujat Allah.
Penutup.
Seperti yang telah dijabarkan di atas sesuai dengan kesaksian Alkitab yang adalah Firman Allah itu sendiri bahwa ke-Ilahian Yesus Kristus merupakan penyataan Allah secara ekplisit, maka pengajaran mengenai Kristologi tinggi merupakan suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Kritikan-kritikan sumbang di luar kekristenan memang akan selalu ada, namun kritikan-kritikan demikian jika dengan seksama diperhatikan, justru membuktikan ketidak pahaman dan kegagalan para pengkritik tersebut terhadap kesaksian Alkitab. 
Sebagai penutup, argumentasi Geisler ini dapat menjadi argumentasi rasional logis yang tak dapat dibantah. Geisler mengatakan bahwa, mau-tidak-mau, semua orang harus mengakui ke-Tuhanan-Nya, karena jika hanya memandang Dia sebagai Guru moral dan seorang Nabi, maka harus dikatakan juga bahwa seorang Guru moral dan Nabi yang benar tidak akan mengklaim dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Yesus Kristus! Fakta ini menjadikan para pengkritik tidak dapat berkutik karena tidak menyediakan pilihan lain (Guru moral atau Nabi) kepada Pribadi Kristus, selain mengakuin-nya sebagai Tuhan. Soli Deo Gloria!


            [1] Tulisan ini diedit seperlunya dari Skripsi Penulis, Yosep Belay, Apologetika Kristen Terhadap Konsep Deifikasi Kristus Menurut Ioanes Rakhmat (Depok: STT SKRIPTURA—skripsi, 2016), 75.
            [2]John RW. Sott Kedaulatan dan Karya Kristus,... 27.
[3]Harus diperhatikan bahwa realitas agama manusia adalah bersifat antroposentris. Manusia yang membangun dan menjalankan suatu sistem, dengan demikian maka tidak mungkin manusia dapat sampai kepada Allah melalui konsep-konsep yang dibangun, kecuali jika Allah sendiri yang menyatakan jalannya kepada manusia, dan hal tersebut hanya dijumpai dalam kekristenan melalui pribadi Tuhan Yesus.
[4]Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don’t Have Enough Faith to Be an Atheist... 386.
            [5] John RW. Stott, Why I am a Christian... 29.

PENGANTAR APOLOGETIKA KRISTEN

PENGANTAR APOLOGETIKA KRISTEN 

-oleh : yb-
 
 Definisi Apologetika Kristen.
Secara umum, istilah apologetika sering dikaitkan dengan pembelaan Socrates dalam merumuskan pandangan dan tindakannya.[1] Namun,   perkembangan tata bahasa dan penggunaan istilah apologetika secara luas menyebabkan istilah ini mengalami pergeseran makna. Pratt mengatakan  bahwa apologetika seringkali disalah mengerti. Istilah ini biasanya dipahami sebagai permintaan maaf saat kita bersalah kepada seorang teman atau kepada orang yang kita kasihi dan kita merasa perlu untuk mengatakan saya minta maaf”.[2] Pemaknaan apologetika yang keliru tersebut perlu penulis jelaskan dan batasi dalam tulisan ini, yaitu hanya pada penggunaan secara teknis atas dasar pertimbangan etimologi agar tidak keliru.
Di kalangan akademisi teologi, para Teolog pun memilki pengertian yang berbeda-beda mengenai makna apologetika (namun tentu tidak dalam pengertian “permintaan maaf”). Pratt misalnya, ia membedakan istilah apologi dengan apologetika. Menurutnya, “apologi” adalah pebelaan yang diberikan sedangkan “apologetika” adalah suatu study yang secara langsung mempelajari bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu.[3] Tak jauh  berbeda, mengutip Verkuyl, Indra mengatakan “apologi adalah pertanggung jawaban atas isi iman kita terhadap mereka yang bertanya, sedangkan apologetika adalah pemikiran secara ilmiah tentang cara bagaimana kita menjawab pertanyaan tentang isi iman kita.[4] Sejalan dengan dua Teolog diatas, Sproul mendefinisikan Apologetika sebagai “Suatu pernyataan yang nalar atau suatu pembelaan verbal.[5] Ia kemudian menyimpulkan maknanya dengan lebih spesifik sebagai suatu usaha untuk “…mempertahankan dan berargumentasi untuk sudut pandang tertentu.[6] Namun berbeda, baik dengan Sproul, maupun yang lainnya, Frame mendefinisikan Apologetika sebagai “Aplikasi Alkitab kepada mereka yang tidak percaya”[7], karena ia percaya bahwa Apologetika merupakan salah satu bagian dari Teologi Kristen yang bersumber dari pengajaran Alkitab. Meskipun terdapat perbedaan pandangan dari masing-masing Teolog, namun pada prinsipnya memiliki satu muara yang sama, yaitu pembelaan dan pertanggung-jawaban Iman Kristen.
Kata “Kristen” hanya muncul tiga kali didalam Alkitab, yaitu didalam Kisah Para Rasul 11:26, 26:28; 1 Petrus 4:16. Istilah ini merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat kafir pertamakali di Antiokhia sebagai suatu bentuk sindiran bagi para pengikut Kristus[8] yang kemudian terus mengalami perkembangan makna hingga kini.  Dalam kerangka pemikiran modern saat ini, istilah “Kristen” dipahami sebagai suatu system organisasi/lembaga keagamaan yang didasari atas unsur-unsur pengajaran doktrinal[9] yang mendasar mengenai pengharapan iman yang berpusat pada Pribadi serta karya agung dari Tuhan Yesus Kristus
Dengan demikian, makna penting dari istilah “Kristen” memilki dua muatan makna, makna dalam pengertian praktis sebagai suatu bentuk hubungan intim setiap pribadi Orang percaya dengan Tuhan Yesus, dan makna dalam unsur lain, yaitu merupakan kelembagaan yang memuat sejumlah tata aturan dan dogma (sekaligus memuat hal-hal yang erat kaitannya dengan syarat kelengkapan suatu agama dalam konteks bernegara di Indonesia sesuai dengan undang-undang yang ada).
Dengan meneliti kedua istilah diatas maka penulis mengambil kesimpulan dengan mengkorelasikan keduanya dalam satu sintesa yaitu,  “Apologetika Kristen” sebagai suatu bentuk pembelaan dan pertanggung jawaban Iman Kristen—baik eksternal, maupun internal—yang  bertolak dari prinsip-prinsip kebenaran Alkitab terhadap pernyataan menyimpang yang mengancam serta merusak unsur-unsur iman Kristen dengan rasio yang dikuduskan. Atau seperti pandangan Frame, Apologetika Kristen merupakan “Ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggung jawaban tentang pengharapannya.[10]
 Apologetika Dalam Perjanjian Baru.
Apologetika bukanlah hal yang baru dalam dunia Perjanjian Baru. Kata apologia sendiri di dalam Alkitab digunakan sebanyak delapan kali, yaitu, dalam Kisah Para Rasul. 22:1; 25:16; 1 Korintus 9:3; 2 Korintus 7:11; Filipi. 1:7, 16; 2 Timotius 4:16; 1 Petrus 3:15. Sedangkan kata kerja  apologeomai  muncul sebanyak 10 kali dalam Lukas 12:11; 21:14; Kisah Para Rasul 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2, 24; Roma. 2:15; dan 2 Korintus 12:19.[11] Kemudian kegiatan apologetika sendiri telah hadir semenjak berita Injil dideklarasikan untuk mengkonfrontasi setiap wawasan dunia yang menyimpang. Dengan kata lain, apologetika telah ada semenjak Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya. Stott melihat hal tersebut dan menyorotinya dari sisi yang berbeda, Ia menjelaskan demikian, 
Gambaran yang popular tentang Krisus sebagai “Yesus yang lemah lembut dan rendah hati” jelas tidak tepat (karena) Ia tidak menahan diri  ketika tiba waktunya untuk menyingkap kesalahan … Para penulis Alkitab memperlihatkan betapa Ia kerap berdebat dengan para pemimpin agama di masa-Nya.[12]
Salah satu contoh[13] apologetika yang dilakukan Tuhan Yesus dapat dilihat dalam Injil Matius pasal 22:23-33 (Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40). Pada peristiwa tersebut, Tuhan Yesus mengkonfrontasikan kekeliruan presuposisi kalangan saduki yang berpendapat bahwa “tidak ada kebangkitan” dengan dua kunci, yaitu keliru presuposisi mereka mengenai “Kitab Suci dan kuasa Allah!”. Jadi jelas bahwa prinsip-prinsip utama apologetika telah ada secara implisit dalam konsep pemberitaan dan pelayanan Tuhan Yesus.
Contoh lainya dalam pelayanan para Rasul dapat dijumpai seperti apologetika Rasul Petrus pada peristiwa pentakosta (Kisah Para Rasul 2:14-40) dan apologetika Rasul Paulus di hadapan raja Agripa (Kisah Para Rasul 26:1-29). Kedua contoh tersebut merupakan gambaran yang cukup jelas mengenai beberapa kasus apologetika dalam Perjanjian Baru, dimana apologetika telah dipergunakan sebagai instrument yang saling melengkapi pada saat pemberitaan dan pertanggung jawaban berita Injil.
 Pentingnya Apologetika.
Pada umumnya,  kendala Orang percaya untuk berapologetika adalah sudut pandang dan prasangka yang keliru mengenai apologetika. Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Pratt, menurutnya,
Alasan lain yang sering kali dipakai untuk mengabaikan apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan orang-orang terlatih … oleh karena itu banyak orang Kristen yang berpikir bahwa tugas mereka hanya untuk mengabarkan Injil dan kalau ada pertanyaan mengenai kredibilitas dari iman Kristiani maka mereka akan membawa orang itu kepada Pendeta mereka, yang dianggap sebagai “tenaga ahli”[14]
Apologetika selalu dipahami sebagai kegiatan intelektual yang rumit sehingga Orang percaya awam kurang tertarik dengan apologetika. Disamping itu, dalam konteks berbudaya, khusunya “etika toleran” dalam konteks masyarakat Indonesia, sifat apologetika yang sarat akan konfrontasi serta menyentuh unsur mendasar dari keyakinan seseorang, dan kondisi emosinal Apologis yang tidak stabil, dipandang sebagai suatu kegiatan yang berbahaya karena rentan terjadi konflik horisnotal. 
Tentu saja hal ini keliru, karena persepsi demikian juga mengakibatkan efek samping yang tak kalah memprihatinkan, yaitu dasar iman yang rapuh (karena tidak memiliki isi), sikap kompromi, dan pada tahap yang lebih serius mengakibatkan kesesatan. Disamping itu, konflik wawasan dunia tidak mungkin dapat dihindari mengingat orang percaya harus hadir menjadi pembawa berita Injil didalam dunia yang memiliki worldview yang pada prinsipnya berbeda. Untuk itu, baik secara sistematis maupun tidak, baik dengan pemahaman yang mendalam, maupun sempit—cepat atau lambat—orang  percaya akan terlibat dalam kegiatan berapologetika. Maka tidak ada jalan lain selain memeprsiapkan diri dengan baik seperti yang ditegaskan oleh Stott, “ketekunan tanpa pengetahuan sama buruknya dengan pengetahuan tanpa ketekuanan”[15].
Alasan lain yang juga ikut mempengaruhi kurangnya minat orang percaya untuk mendalami apologetika adalah kekeliruan penafsiran atas salah satu ayat yaitu dalam Matius 10:19, “Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga”. Penafsiran yang keluar dari konteks tersebut menyebabkan Orang percaya tidak ingin repot-repot mempersiapkan diri. Mengomentari hal ini, Pratt menegaskan bahwa: 
Sangat penting untuk dimengerti bahwa jaminan akan diberikannya kekuatan dari Roh Kudus jangan diartikan sebagai pengganti dari ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan mempersiapkan diri untuk berapologetika. Walaupun kita dianjurkan untuk tidak khawatir akan makanan dan pakaian (lih. Mat. 6:25 dan selanjutnya), kita tetap dianjurkan untuk tetap bekerja dan berjerih payah untuk mendapatkan semuanya itu. Demikian juga dengan berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk mempersiapkan diri.[16] 
Dengan demikian maka, baik kekeliruan dalam penafsiran maupun penekanan yang tidak sehat terhadap pimpinan Roh Kudus, pada prinsipnya akan menyebabkan Orang percaya menjadi “mandul” dalam mempertanggung jawabkan Iman, dan akan lebih cendrung untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan sulit.
Disamping kendala-kendala diatas, Pratt juga memberikan beberapa alasan mendasar mengenai pentingnya apologetika bagi Orang percaya. Ia mengatakan bahwa, dengan mempelajari apologetika maka orang percaya akan mampu mempertahankan Imannya, penginjilan menjadi lebih bersemangat dan efektif, mampu mempresentasikan Iman Kristen kapanpun—dihadapan siapupun, serta mampu menghilangkan keraguan yang menghalangi pertumbuhan Iman[17].
Dilain pihak, menyoroti aspek lain dari pentingnya apologetika, Sproul menjelaskan demikian, 
Di satu sisi,  sebagaimana yang Calvin katakan, kemenangan (apologis Kristen) itu bisa menghentikan gonggongan orang tidak percaya; dan disisi lain, kemenangan intelektual memberikan jaminan dan perlindungan bagi orang Kristen yang masih bayi secara rohani yang belum siap untuk menjawab hujam kritikisme dari kaum akademisi dan skeptis. Kemenangan secara intelektual bisa menjadi suatu peneguhan bagi iman Kristen.[18]
Apologetika menjadi penting karena bukan hanya menyangkut kegiatan si Apologis yang mempertahankan Imannya, namun juga memiliki efek samping kepada Orang percaya lain yang masih “bayi”, dimana mereka diteguhkan dan dikuatkan dengan jawaban dan argumentasi yang memuaskan. 
Meringkas alasan pentingnya apologetika, Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli mendasari atas ketaatan orang percaya kepada kehendak Allah melalui Firman-Nya. Mereka menjelaskan, “Penolakan untuk memberi pertanggung jawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidak taatan kepada Allah”[19]. Kemudian dari sisi praktisnya, disoroti dari dua hal penting yaitu,  “untuk meyakinkan orang yang tidak percaya dan untuk mengajar dan membangun orang percaya”[20]
Menyadari akan alasan-alasan mendasar diatas maka study apologetika sangatlah penting karena memiliki dampak secara langsung bagi kehidupan dan pertumbuhan iman Orang percaya.
 Peran dan Fungsi Apologetika.
Apologetika memiliki beberapa peran dan fungsi sesuai dengan konteks penggunaannya. Frame mengemukana tiga alasan mendasar mengenai peranan dan fungsi apologetika dalam Iman Kristen[21]. Tiga hal tersebut yaitu,
1.   Apologetika sebagai pembuktian. Dalam konteks ini apologetika berfungsi sebagai pembuktian, apologetika menyediakan penjelasan-penjelasan yang rasional kepada pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain,  apologetika sebagai pembuktian berkaitan erat dengan “usaha untuk menjelaskan” prinsip-prinsip Iman, baik kepada Orang percaya yang kurang memahami, maupun kepada pihak lawan.  (Bdk. Yohanes 14:11; 20:24-31; 1 Korintus 15:1-11).
2.   Apologetika sebagai pembelaan. Pada bagian ini, apologetika berperan memberikan jawaban dan pembelaan terhadap serangan-serangan dari pihak lawan. Disini apologetika berkaitan dengan “pertahanan” Iman. (bdk. Filipi 1:7, ay.16).
3.   Apologetika sebagai penyerangan. Frame dengan tegas mengatakan “Tuhan tidak hanya memanggil umatNya untuk menjawab keberatan-keberatan dari mereka yang tidak percaya, tetapi juga melanjutkannya dengan serangan terhadap kepalsuan”[22] (Bdk. 2 Korintus 10:5). Sebagai bentuk serangan, apologetika berfungsi untuk meruntuhkan worldview lawan yang menyimpang, karena Alkitab menyatakan pemikiran non-Kristen adalah kebodohan (1 Korintus 1: 18-2:16; 3:18-23) dan salah satu fungsi lain dari apologetika adalah untuk menyatakan kebodohan tersebut.
Berbeda dengan Frame, Sproul mengemukan peranan yang berbeda. Menurut Sproul, apologetika memilki peran penting dalam dua hal,
1.   Apologetika sebagai instrument “prapenginjilan”. Sproul mengatakan, “Sebelum kita bias mengajak orang kepada iman yang menyelamatkan, kita haru memberikan informasi atau isi dari kepercayaan yang kita ingin mereka percayai”[23]. Disini, apologetika berfungsi untuk mengkonfrontasikan setiap keyakinan yang menyimpang dan kemudian membuka jalan bagi berita Injil.
2.   Apologetika sebagai instrument “pascapenginjilan”. Fungsi berikutnya, apologetika berperan menjaga dan melestarikan iman orang percaya yang telah mengalami kelahiran baru dari pengaruh buruk dan kesesatan.
 
Sedangkan menurut Nash, peranan apologetika dibagi menjadi dua bagian yang secara umum digunakan oleh Apologis[24] (baik apologis Kristen maupun non-Kristen), yaitu:
1.   Apogetika  negatif.  Dalam konteks ini,  Apologis menanggung beban pembuktian, atau lebih dikenal sebagai apologetika bertahan. Pada kerangka ini apologetika berfungsi untuk mempertahankan prinsip-prinsip Iman Kristen dari serangan dan sanggahan pihak lawan.
2.   Apologetika positif. Merupakan apologetika penyerangan (defensive). Disini Apologis mempergunakan metode dan prinsip-prinsip apologetika dalam memberikan argumentasi-argumentasi untuk meruntuhkan preposisi dan klaim-klaim yang dipegang lawan. 
        Namun baik apologetika negative maupun positif, keduanya perlu dikuasai dengan baik oleh Apologis karena didalam kegiatan berapologetika akan selalu terjadi argumentasi dua arah. Untuk itu baik sebagai bentuk penyerangan (Positif), maupun pertahanan (Negatif), prinsip dan metode dasar apologetika perlu diperhatikan.
 Penutup.
     Seperti yang telah disampaikan bahwa jatuh bangunnya iman Kristen berkaitan erat dengan pemahaman mengenai konten iman itu sendiri, yang mana berhubungan erat dengan pembelajaran, pemberitaan dan pertanggung-jawaban berita Injil. Maka kegiatan berapologetika tidak dapat dipisahkan dalam iman kristiani sebagaimana tanggung-jawab yang diemban untuk menjadi saksi Kristus dalam segala keadaan.  Kiranya Roh Kudus memimpin, mencerahkan, dan memampukan kita untuk berapologetika dalam kebenaran yang bermartabat, sehingga hanya nama Kristus yang dipermuliakan. Soli Deo Gloria!


[1]Sinclair B. Ferguson, David F. Wrigth, J. I. Packer, New Dictionary of Theology—Jilid 1 (De Monfort, Leicester: Inter-Varsity Press, 1998), 52.
[2] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive: A Study Manual for the Defense of Christian Truth (Philipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1979),2.
[3] Ibid.
[4] Ichwei G. Indra, Perjumpaan Iman Kristen dan Kebudayaan (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001), 11.
[5] R.C.Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003),1.
[6] Ibid.
[7] John M. Frame , The doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed, 1987), 148. Meskipun berbeda dalam definisi namun Pratt memiliki presuposisi yang sama dengan Frame. Dalam hal tersebut, kedua tokoh Apologis ini mewakili sebagain besar pemikiran Apologis Reformed yang mendasari argumentasi dari Alkitab. Lihat pembahasannya dalam metode apologetika pada bab. II.
[8] Kisah Para Rasul 11:26.
[9] Tidak semua Teolog dan Orang percaya setuju dengan definisi penulis tersebut, terutama dalam pengertian “doktrinal yang kaku. Misalnya, Elmer L. Towns. Ia menulis “kata Kristen bukanlah tentang doktrin, atau segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Orang-orang itu disebut Kristen karena mampunyai hubungan dengan Yesus Kristus.” Elmer L. Towns, Core Christianity:What is Chirtianity All About? (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2007), 1. Tentu pendapat tersebut tidaklah keliru jika ditinjau dari segi praktika, namun disisi lain pandangan ini juga memiliki kelemahan karena pada dasarnya Iman Kristen dibangun diatas dogma-dogma yang didasari atas Firman Allah. Mempercayai Kristus sebagai juruselamat dan membangun hubungan pribadi dengan-Nya juga merupakan suatu dogma, dengan demikian tidak ada relasi dengan Tuhan tanpa didasari oleh dogma. Namun untuk membatasi pembahasan agar tetap terfokus maka maksud penggunaan istilah “Kristen” dalam tulisan ini hanya dalam batasan tertentu—bukan dalam pengetian “praktis atau hubungan intim dengan Tuhan—tetapi dalam konteks teknis yang menyangkut core dogma Iman Kristen. (Beberapa argumentasi yang baik, lihat: John RW. Stott, Christ The Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013), 15-16; R.C.Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetisc (Wheaton: Crossway Books, 2003), 22; Dan juga, Bernhard Lohse, Epochen der Dogmengeschichte (Kreus Verlag: Stuttgardt, 1963), 1-10).
[10] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed:1994), 3. Pandangan tersebut juga sejalan dengan pendapat Sproul. Sproul mengatakan bahwa tugas utama Apologetika Kristen adalah menyediakan pembelaan terhadap kebenaran yang diklaim oleh iman secara intelektual. R.C.Sproul, Defending Your Faith…, 1.
[11] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid II. (Malang : Literatur SAAT, 2003), 103-104.
[12] John RW. Stott, Christ The Controversialist (Notthingham: Arrangement with Inter—Varsity Press, 3013), 43.
[13] Tentu terdapat banyak contoh lain, namun contoh kasus ini dipilih oleh penulis karena memilki kelengkapan kriteria untuk sebuah study kasus apologetik tradisional yang cukup baik dalam masa pelayanan Tuhan Yesus.
[14] Ibid, hal. 10.
[15] John RW. Stott, Your Mind Matters (England: InterVarsity Press, 1992), 5.
[16] Richard L. Pratt Jr, Every Trought Captive... 8-9.
[17] Ibid, hal. 11-12.
[18] R.C.Sproul, Defending Your Faith... 17.
[19] Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1994), 25.
[20] Ibid.
[21] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God... 4-5.
[22] Ibid.
[23] R.C.Sproul, Defending Your Faith...  21.
[24] Ronald H. Nash, Faith and Reason: Searching for a Rational Faith (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1988), 20-25.